Tumbuhnya Kemandirian Anak Berkebutuhan Khusus melalui 7 Kebiasaan

Perubahan paling kentara terlihat pada Dzikri. Ia memiliki gangguan pemusatan perhatian yang sempat membuat rutinitas pagi terasa berat. Setelah guru dan orang tuanya menerapkan rangkaian kebiasaan bangun pagi, doa, dan kemandirian bina diri, Dzikri berkembang cepat. Ia mulai menyiapkan seragam tanpa disuruh dan bahkan membangunkan ibunya jika jam bangun terlewat. Di sekolah, ia mengikuti kegiatan bina diri dengan lebih stabil karena pola tidurnya kini teratur.

 

Zizah, 13 tahun, punya cerita berbeda. Siswi tunarungu itu kerap terlambat ke sekolah. Ibunya mesti berteriak keras supaya dia bisa segara beranjak dari tempat tidur. Tetapi itu cerita tiga bulan lalu. Semuanya kini berubah. Setiap hari Zizah bangun pukul 04.30, tanpa teriakan ibunya. Dia bergegas membuka mata begitu alarm di bawah bantalnya bergetar tepat pada jam itu.

 

“Sekarang saya bangga. Saya bisa bangun sendiri seperti teman-teman yang lain,” kata Zizah dengan bahasa isyarat yang diterjemahkan Ibu Aas, guru pendampingnya.

Cerita lain datang dari Ani, siswi cerebral palsy yang tubuhnya sulit digerakkan. Kini, kini bisa mengangkat tangannya lebih tinggi. Rahasianya adalah olahraga rutin. Setiap hari Selasa dan Kamis pagi pukul 07.00, halaman SKh Negeri 01 Kota Serang berubah menjadi arena olahraga yang penuh tawa.

 

Para siswa berolahraga secara adaptif. Yang menggunakan kursi roda bergerak dalam formasi. Yang tunanetra mengikuti instruksi dengan panduan suara dan sentuhan. Dari sinilah Ani berubah, membuat ibunya kagum. “Dulu saya pikir Ani tidak akan pernah bisa berolahraga,” tutur Yanti, sang ibu suara bergetar haru. Kebanggaan yang sama dirasakan Hendro, ayah dari siswa tunagrahita ringan bernama Azi. Empat bulan lalu, dia bahkan tidak tahu cara berwudu. Tetapi sekarang dia selalu ingat waktu salat, hafal bacaannya. Azi bahkan lebih bersemangat melaksanakan salat lebih awal. ”Sekarang dia yang mengingatkan bapaknya di rumah,” cerita Hendro, ayahnya dengan bangga.

 

Di sekolah Azi yang memiliki keterbatasan fisik diajarkan modifikasi gerakan salat yang tetap memenuhi syariat. “Allah tidak melihat kesempurnaan gerakan, tetapi keikhlasan hati. Saya yakin, ibadah anakanak ini lebih khusyuk dari banyak orang di luar sana,” ujar Hj. Sadiah, Pembina keagamaan sekolah.

 

Sementara itu, Fatir, siswa lain, tampak lebih pendiam. Ia lambat bereaksi dan sering menunda tugas bina diri. Guru memilih pendekatan bertahap dengan menggabungkan kebiasaan berdoa, olahraga ringan, dan latihan motorik halus. Setelah beberapa bulan, Fatir dapat memakai sepatu sendiri tanpa bantuan. Perubahan kecil ini menjadi pijakan bagi pelatihan kemandirian berikutnya. Ia mulai lebih tenang saat mengikuti kegiatan seni, terutama melukis, yang kini menjadi ruang ekspresinya.

Berbeda halnya dengan Rini yang membawa perjalanan panjang. Ia sering cemas dan mudah panik. Ketika program 7 Kebiasaan dijalankan, ia memulai dari hal yang paling bisa ia lakukan, yakni duduk tenang lima menit setiap pagi sambil berdoa. Guru lalu menambahkan latihan pernapasan dan aktivitas gerak ringan. Kombinasi ini membuatnya lebih terkendali dalam menjalani aktivitas sekolah. Orang tuanya melihat perubahan serupa di rumah; Rini lebih mudah diajak berdialog dan tidak lagi menolak mandi atau sarapan. Kebiasaan makan sehat yang diperkenalkan sekolah membantu pola makan keluarga ikut berubah.

 

Contoh lain yaitu Fajar. Dari kasus Fajar, dapat dikatakan bahwa lingkungan sekolah dapat memperkuat proses di rumah. Siswa yang memiliki hambatan intelektual ringan itu awalnya sulit mengikuti instruksi bina diri. Namun melalui latihan konsisten, Fajar mampu berdandan sendiri sebelum berangkat sekolah.

 

Dalam kegiatan kelas, ia mulai bisa membantu teman menyiapkan alat belajar. Peduli lingkungan dilatih lewat kegiatan kebun sekolah. Fajar senang menyiram tanaman dan merapikan pekarangan, dua aktivitas yang membuatnya merasa berguna. 

Melibatkan Peran Orang Tua

 

Program ini tidak hanya berlangsung di ruang kelas. Guru bekerja sama dengan orang tua untuk memastikan kebiasaan dilakukan juga di rumah. Pola tidur diatur, penggunaan gawai disesuaikan, dan keluarga diberi contoh langkah-langkah sederhana untuk membangun rutinitas. Di sekolah, kegiatan pagi dilakukan serentak: berdoa, olahraga ringan, mengecek kerapihan diri, membaca singkat, serta memulai pelajaran tanpa tergesa-gesa. Rutinitas itu membantu murid memahami ritme hari yang teratur.

 

Sekolah juga menempatkan kegiatan vokasional sebagai bagian dari kebiasaan keenam. Anak dilibatkan dalam membatik, berkebun, membuat kerajinan, atau merapikan ruang kelas. Kegiatan ini membuat mereka belajar tanggung jawab dan merasakan hasil nyata dari usahanya. Guru mencatat perkembangan setiap anak, lalu menyesuaikan pendampingan sesuai kebutuhan masing-masing.

Perubahan tidak hanya dirasakan murid. Orang tua melihat rumah menjadi lebih teratur karena anak belajar merapikan barang, memilih makanan yang lebih baik, dan menjaga kebersihan diri. Beberapa keluarga mulai ikut menerapkan jadwal tidur bersama, sehingga proses pendampingan terasa lebih mudah. Lingkungan sekitar sekolah pun ikut terlibat melalui kegiatan sosial dan pembelajaran bahasa isyarat sederhana bagi anak non-disabilitas yang berdekatan dengan sekolah.

 

Dari seluruh proses ini, tampak bahwa kemandirian bertumbuh dari hal kecil yang dibiasakan setiap hari. Di sekolah khusus seperti ini, perubahan sekecil apa pun menjadi capaian yang penting. Anak-anak yang dulu ragu menghadapi aktivitas dasar kini mulai memahami bahwa mereka mampu melakukan lebih banyak hal.

 

Melalui 7 Kebiasaan Anak Indonesia Hebat, SLB Negeri Kota Serang menemukan cara untuk menjadikan pembiasaan sebagai bagian integral dari pembelajaran. Anakanak belajar mengurus diri, membangun hubungan yang baik dengan teman, mengenali minatnya, dan berkontribusi pada lingkungan. Setiap kebiasaan saling menguatkan dan membuka peluang baru bagi perkembangan mereka. 

wpChatIcon
wpChatIcon