Langkah ini berawal dari komitmen sekolah untuk menghidupkan kembali nilai-nilai luhur budaya setempat, yang sebangun dengan Program Tujuh Kebiasaan Anak Indonesia Hebat (7-KAIH). Tujuh kebiasaan, yaitu bangun pagi, tidur lebih awal, menjaga kesehatan, beribadah, disiplin belajar, aktif bergerak, dan hidup bersih—dibawa masuk ke ruang kelas dengan pendekatan khas Bajo, menggabungkannya dengan Budaya Tabe’.
Kemenangan sekolah sebagai Juara 1 Lomba Video Penerapan Budaya Tabe’ yang digelar Dinas Pariwisata Kabupaten Luwu pada 2024 kian menyulut tekad untuk menerapkannya di sekolah. Sebab, tanpa banyak disadari budaya menghormati dan permisi ini mulai memudar di kalangan murid, tergerus oleh budaya luar melalui derasnya arus informasi dan teknologi.

Dari sanalah, Tabe’ menjadi fondasi untuk menjalankan visi sekolah, yakni mencetak lulusan dengan delapan dimensi profil: keimanan, kewargaan, penalaran kritis, kreativitas, kolaborasi, kemandirian, kesehatan, dan komunikasi. Pendekatan ini bukan hanya untuk membentuk murid yang kompeten, tetapi juga santun, beretika, dan memiliki akar budaya yang kuat. Tabe’ yang mengandung falsafah 3-S masyarakat Sulawesi Selatan (sipakatau, sipakalebbi’, dan sipakainge’) menjadi panduan sekolah.
Sipakatau berarti memanusiakan satu sama lain. Makna memuliakan sesama ini diterjemahkan dalam beragam kegiatan harian. Pagi hari dimulai dengan penyambutan murid—guru dan murid saling memberi hormat, memberi ruang agar setiap orang merasa dihadirkan sebagai manusia yang utuh. Murid lalu mengisi jurnal harian: jam bangun tidur, ibadah, pola makan, hingga kebiasaan rumah. Setiap pekan, jurnal dianalisis wali kelas; setiap bulan, guru berdiskusi dengan murid dan orang tua. Hubungan emosional yang tumbuh dari komunikasi ini membuat proses pemantauan perilaku lebih akrab dan mudah diarahkan.

Di rumah, orang tua turut membiasakan bangun pagi, ibadah, dan tidur cepat. Di sekolah, nilai sipakatau hadir dalam program kesehatan: lingkungan bebas asap rokok, minum air putih setiap hari, hingga pola makan sehat. Kerja sama sekolah dengan orang tua dan kantin menghasilkan serangkaian program: membawa tumbler berisi satu liter air, Setago setiap Senin (sehari tanpa gorengan), Setawi setiap Selasa (tanpa makanan instan atau pengawet), Setanis setiap Rabu (tanpa pemanis buatan), dan Setawa setiap Kamis (tanpa pewarna sintetis). Semua dilakukan demi memuliakan tubuh melalui kebiasaan yang lebih sehat.
Sipakalebbi’ atau saling menghargai. Setiap Jumat pekan pertama dan ketiga, guru dan murid berjalan santai mengelilingi wilayah sekitar sekolah. Mereka memungut sampah sepanjang jalan, sebuah cara sederhana untuk berbaur dengan masyarakat. Tak jarang warga yang dilewati memberi air minum atau makanan kecil. Meski murid diwajibkan membawa air sendiri, pelayanan kecil dari warga selalu menjadi pelajaran tentang saling menghargai. Sepulang dari jalan santai, guru dan murid makan bekal sehat bersama di sekolah. Dari kegiatan ini, murid belajar bahwa peran apa pun yang disandang seseorang tetap perlu dihargai.

Sipakainge’ atau saling mengingatkan dalam kebaikan. Kebiasaan orang tua yang membimbing anak untuk bangun lebih pagi, beribadah, dan tidur lebih awal sudah menjadi bagian dari falsafah ini. Di sekolah, nilai sipakainge’ mengalir melalui kegiatan rutin: Pertemuan Pagi Ceria yang berisi Senam Anak Indonesia Hebat, menyanyikan Indonesia Raya, doa bersama, dilanjutkan shalat dhuha bergiliran dan shalat zuhur berjamaah. Pada hari Kamis, Jumat, dan Sabtu, murid mengikuti Literasi Al-Qur’an di jam pertama. Dari situlah dimensi keimanan, ketakwaan, ketertiban, dan rasa cintatanah air terbangun secara perlahan. Falsafah 3-S dalam praktiknya menjadi kompas kehidupan, fondasi pendidikan karakter, penjaga keharmonisan, serta tameng moral agar murid tidak mudah tergelincir. Nilai-nilai ini ikut membentuk martabat diri sekaligus penghormatan pada hak orang lain—sebuah prinsip yang dalam budaya setempat disebut Sirri’ Na Pacce. Semuanya sejalan dengan misi program Tujuh Kebiasaan Anak Indonesia Hebat.

Hasilnya pun terlihat. Analisis jurnal menunjukkan penurunan signifikan pada keterlambatan murid. Ibadah meningkat, baik salat wajib maupun mengaji siswa muslim. Pertemuan Pagi Ceria menjadi budaya baru yang berjalan konsisten. Kebiasaan membawa botol minum dan bekal sehat mengurangi jumlah sampah sekolah. Pelanggaran tata tertib berkurang; perkelahian dan bullying menurun.
Memang, program 7 Kebiasaan Anak Indonesia Hebat belum seluruhnya berjalan sempurna. Meski demikian, dampaknya sudah terasa luas. Ditambah dengan kebijakan jam malam dari Bupati Luwu—yang melarang anak-anak berkeliaran setelah pukul 22.00—kebiasaan di sekolah dan rumah kini saling menguatkan. Perubahan di SMP Negeri 1 Bajo membuktikan karakter tidak dibentuk oleh teori besar, melainkan oleh kebiasaan kecil yang dilakukan setiap hari. Dan dalam
perjalanan itu, tabe’ menjadi jembatan antara tradisi dan masa depan, antara etika lokal dan cita-cita Indonesia Emas. sekolah ini menanamkan satu keyakinan sederhana: generasi hebat lahir dari kebiasaan baik yang dibiasakan.
Penulis: Retno Rusdiana, S.Pd

