Dari jendela ruang guru, pemandangan itu selalu menarik perhatian saya. Beberapa siswa datang lebih awal dengan wajah cerah. Ada kesan siap memulai hari. Namun tak sedikit yang berlari memasuki halaman sekolah ketika bel sudah berbunyi. Rambut masih acak-acakan, mata sayu, dan ponsel di tangan seolah baru dilepas sesaat sebelum petugas piket menegur. Di antara 654 siswa, sekitar lima belas hingga dua puluh anak datang terlambat hampir setiap hari. Polanya sama, mereka begadang bermain gim atau berselancar di media sosial hingga malam berganti pagi.
Masalahnya, keterlambatan itu tidak berhenti pada aspek disiplin kehadiran. Efek bawaannya terbawa hingga masuk ke dalam kelas. Beberapa siswa kesulitan fokus, dan kadang tertidur saat guru menjelaskan materi. Pola hidup digital yang tidak teratur membuat mereka kehilangan ritme belajar yang sehat. Kebiasaan membaca memudar, waktu tidur berkurang, dan olahraga nyaris tak tersisa. Jika dibiarkan, kondisi ini akan membentuk karakter yang rapuh menghadapi tuntutan hidup yang kian kompleks.

Sebagai guru Bahasa Indonesia, saya merasa tidak cukup hanya mengajarkan bahasa, sastra, dan teknik menulis. Ada tanggung jawab moral yang lebih besar: membantu mereka menemukan kembali pola hidup yang tertib dan bermakna. Dari kegelisahan itulah saya merintis Program MAHAKAM, yakni Membangun Aktivitas Harian Anak Kreatif, Aktif, dan Mandiri. Ini merupakan upaya kecil untuk menumbuhkan kebiasaan positif yang berangkat dari kesadaran, bukan tekanan.
Pada awalnya, tantangan datang dari anggapan bahwa kedisiplinan tidak terkait langsung dengan prestasi. Sebagian siswa menilai aturan datang tepat waktu atau menulis jurnal harian sebagai kegiatan yang merepotkan. Padahal di dunia vokasi, keterampilan teknis selalu berjalan beriringan dengan etos kerja. Industri menuntut ketepatan waktu, kerapian, dan kemampuan mengatur diri. Tanpa itu, kemampuan terbaik sekalipun akan mudah tertinggal.
Saya memulainya dari keteladanan. Setiap pagi saya tiba lebih awal, berdiri di gerbang, menyapa mereka satu per satu. Senyum sapa jauh lebih kuat dari teguran. Perlahan, beberapa siswa mulai mencoba datang lebih awal. Saya pun mulai menyusun rutinitas pagi yang terukur, bangun pukul lima, ibadah, merapikan tempat tidur, olahraga ringan, sarapan, menyiapkan perlengkapan, lalu berangkat.
Rutinitas itu saya sesuaikan dengan karakter setiap jurusan. Siswa pertanian dan peternakan terbiasa membawa perlengkapan praktik, siswa perikanan menyiapkan ember dan jaring kecil, siswa pemasaran memastikan penampilan rapi sesuai standar layanan. Saya ingin rutinitas pagi mereka terasa relevan, mencerminkan dunia kerja yang suatu hari akan mereka masuki.
Membentuk Kelompok Penggerak
Agar perubahan tidak hanya datang dari guru, saya membentuk kelompok kecil siswa penggerak yang saya sebut Duta MAHAKAM. Mereka berasal dari OSIS dan perwakilan tiap jurusan. Tugasnya memberi contoh perilaku baik, mencatat rutinitas pagi, dan mengajak teman mereka berjalan bersama. Ketika siswa menggerakkan siswa lainnya, suasana sekolah menjadi lebih hidup dan terasa lebih egaliter.
Bagian penting dalam program ini adalah jurnal 7 KAIH, catatan harian berisi tujuh kegiatan sejak bangun tidur hingga pulang sekolah. Saya ingin mereka membangun kemampuan reflektif, keterampilan yang akan mereka butuhkan sepanjang hidup. Catatan tersebut saya baca setiap pekan untuk memantau perubahan dan menemukan cara terbaik mendampingi mereka.

Orang tua juga dillibatkan. Melalui grup WhatsApp dan jurnal harian, orang tua menandai aktivitas anak mereka setiap hari. Dengan begitu, pembiasaan baik tidak berhenti saat gerbang sekolah ditutup, tetapi berlanjut hingga rumah. Di saat bersamaan, saya berdiskusi dengan wali kelas lain dan guru BK agar program tidak berjalan sendiri. Kolaborasi membuat program semakin kuat dan terasa sebagai gerakan bersama, bukan sekadar inisiatif personal.
Hari demi hari, perubahan itu terlihat. Di minggu-minggu awal, pintu gerbang masih ramai oleh mereka yang datang tergesa-gesa. Namun perlahan jumlahnya berkurang drastis. Dari lima belas sampai dua puluh anak setiap hari, turun menjadi empat hingga enam siswa per minggu. Bahkan ada hari-hari tertentu ketika tidak seorang pun terlambat. Tingkat kehadiran melonjak hingga 95 persen, dan suasana pagi berubah menjadi lebih rapi, lebih cerah, lebih menyenangkan.
Di dalam kelas, mereka lebih berenergi, lebih fokus, lebih bugar, dan jarang mengantuk. Di lapangan praktik, mereka lebih antusias. Catatan di jurnal 7 KAIH semakin rapi dan reflektif. Ada yang menulis berhasil tidur lebih awal, ada yang bercerita menyiapkan perlengkapan sekolah malam sebelumnya, ada yang bangga bisa sarapan bersama keluarga setelah sekian lama. Beberapa mulai saling mengingatkan dengan santun bila ada teman yang terlambat.
Orang tua pun merasakan perubahan itu. Mereka bercerita anaknya lebih mudah bangun pagi, tidak lagi terpaku pada layar ponsel hingga larut malam, dan lebih tertib menata kebutuhan sehari-hari. Komunikasi antara sekolah dan rumah menjadi lebih hidup, penuh kepercayaan, dan saling mendukung.

Program MAHAKAM kini telah melampaui konsep awalnya sebagai kegiatan pembiasaan. Ia berkembang menjadi budaya positif yang mengalir di seluruh jurusan: pertanian, perikanan, peternakan, hingga pemasaran. Seperti sungai besar Mahakam yang mengalir melintasi berbagai wilayah, spirit MAHAKAM mengalir ke setiap sudut sekolah, memberi warna, memberi arah, dan memberi makna.
Perjalanan ini mengajarkan bahwa karakter tidak tumbuh dari aturan keras, melainkan dari pendampingan yang konsisten dan penuh kehangatan. Setiap anak membawa tantangannya masing-masing, dan tugas guru adalah menemani mereka menemukan ritme yang membuat mereka percaya bahwa mereka sanggup berubah.
Saya berharap apa yang kami lakukan di SMK Negeri 9 Samarinda dapat menginspirasi sekolah lain. Tidak harus dengan nama yang sama, tidak harus dengan bentuk yang identik. Intinya adalah kebiasaan positif yang dilakukan setiap hari. Bila setiap guru menyalakan sebuah aliran kecil di kelasnya, maka aliran-aliran itu akan bertemu dan membentuk sungai besar kebaikan bagi masa depan anakanak Indonesia.
Penulis: Pontjowulan Hariningrat Isa Almasih

