Membangun Karakter Hebat di SMP Negeri 1 Lempobatu Satap

Sekolah ini tumbuh menjadi ruang harapan bagi masyarakat sekitar, menghadirkan pembaruan pendidikan melalui Gerakan Tujuh Kebiasaan Anak Indonesia Hebat (G7KAIH) yang disesuaikan dengan kebutuhan lokal. Bagi SMP Negeri 1 Lempobatu Satap, karakter tidak dibentuk fasilitas nan mewah. Sebaliknya kesungguhan kolektif untuk membimbing murid menjadi pribadi yang cerdas, beriman, dan penuh kepedulian, itulah yang jauh lebih menentukan.

 

Setiap pagi, perjalanan menuju sekolah dimulai dari jalan berbatu yang memanjang hingga tujuh kilometer. Saat hujan, tanah liat berubah menjadi lumpur licin, sementara transportasi umum hampir tidak tersedia. Murid berjalan dari desa-desa terpencil dengan kondisi yang tidak ideal. Secara geografis, sekolah ini memenuhi kategori daerah 3T, tetapi secara administratif tidak masuk dalam pendataan nasional sebagai sekolah

 

3T, sehingga akses bantuan dari pusat menjadi terbatas. Ruang belajar yang minim perlengkapan, koleksi perpustakaan yang jauh dari cukup, dan ketiadaan fasilitas teknologi menjadi bagian dari rutinitas mereka.

Kondisi tersebut tidak meluruhkan semangat siapa pun di sekolah ini. Para guru tetap hadir dengan tekad yang kuat, sementara murid menunjukkan kegigihan yang membuat sekolah ini terus bergerak maju. “Kami tidak ingin keterbatasan geografis dan material menjadi alasan untuk menghambat masa depan murid di sekolah ini,” ucap saya dalam pertemuan orang tua. Kalimat itu merangkum komitmen seluruh warga sekolah untuk membangun ruang belajar yang relevan bagi masa depan anak-anak desa.

 

Tantangan pertama muncul dari kemampuan literasi dasar. Setiap tahun masih ditemukan murid yang belum mengenal huruf abjad atau belum lancar membaca saat memasuki SMP. Kondisi ini mendorong lahirnya program pembiasaan literasi Bacami yang dilakukan pada awal dan akhir pembelajaran khusus bagi murid yang belum mampu membaca. Setiap Sabtu ada literasi AlQur’an dengan pendekatan bertahap. Murid dibagi menjadi kelompok lancar, kelompok sedang, dan kelompok pemula yang masih menggunakan Iqra’. Setiap murid mendapat pendampingan sesuai kemampuan tanpa ada yang dibiarkan tertinggal. Literasi akademik dan literasi religius berjalan beriringan, membentuk dasar berpikir sekaligus menumbuhkan kesadaran spiritual.

 

Di sisi numerasi, sekolah menghidupkan kegiatan Market Day dua kali dalam setahun. Halaman sekolah berubah menjadi pasar mini di mana murid mempraktikkan konsep matematika dalam situasi nyata. Mereka menghitung modal, menetapkan harga, memperhitungkan keuntungan, memberikan kembalian, hingga membuat strategi pemasaran sederhana.

Tak hanya mengasah kemampuan numerik, market day ternyata menanamkan kecakapan ekonomi dasar sekaligus nilai kejujuran, kreativitas, dan keberanian mengambil keputusan. Menurut Nining Bemba, S.Pd., guru pembimbing, anakanak menjadi sangat antusias karena mereka bisa melihat langsung manfaat matematika dalam kehidupan sehari-hari.

 

Gerakan kebiasaan yang lain lahir dari kebutuhan akan ritme hidup yang sehat. Kebiasaan bangun pagi dibangun melalui komitmen bersama orang tua. Setiap kelas memiliki grup komunikasi khusus untuk saling mengingatkan dan memantau perkembangan anak. Murid menjadi lebih disiplin, keterlambatan berkurang drastis, dan pagi hari mereka berjalan lebih teratur—ada waktu untuk sarapan, mempersiapkan diri, bahkan beribadah sebelum berangkat sekolah. Kebiasaan ini memberi pengalaman langsung tentang tanggung jawab diri dan pentingnya peran keluarga dalam membentuk karakter.

 

Setiap Jumat, halaman sekolah berubah menjadi lapangan olahraga. Murid-murid SD turut serta, sehingga kegiatan ini sekaligus menjadi wahana kebersamaan lintas jenjang. Murid SMP sering berperan sebagai tutor sebaya yang memimpin pemanasan, mengajar teknik sederhana, dan memastikan aktivitas berjalan aman. Interaksi di pagi Jumat itu menumbuhkan kepemimpinan, empati, serta rasa saling menjaga antara kakak dan adik sekolah. Di daerah dengan akses terbatas pada fasilitas olahraga, kegiatan ini menjadi wujud nyata promosi kesehatan sejak usia dini.

Kebiasaan lain yang juga dijalankan adalah penggunaan tumbler pribadi. Kebijakan ini terlihat sederhana, tetapi dampaknya terasa jelas. Murid memiliki akses air minum higienis sepanjang hari, sesuatu yang penting di wilayah dengan kondisi air bersih yang tidak selalu stabil. Penggunaan tumbler juga mengurangi sampah plastik. Murid belajar merencanakan kebutuhan diri, menjaga barang pribadi, dan memahami bahwa tindakan kecil yang dilakukan setiap hari dapat mengubah cara mereka merawat diri dan lingkungan. “Awalnya banyak yang lupa membawa tumbler. Tapi setelah beberapa bulan, hampir semua anak sudah terbiasa,” ujar Hudorang, S.Pd.

 

Seluruh program pembiasaan ini terikat dalam Gerakan Tujuh Kebiasaan Anak Indonesia Hebat: bangun pagi, beribadah, berolahraga, makan sehat, gemar belajar, bermasyarakat, dan tidur cukup. Di sekolah ini, tujuh kebiasaan itu tidak dihafalkan, melainkan dilakukan dalam bentuk kegiatan nyata yang dekat dengan kehidupan anak-anak desa. Semuanya dirancang sesuai konteks lokal agar relevan, mudah diterapkan, dan memberi pengalaman langsung tentang pentingnya karakter.

 

SMP Negeri 1 Lempobatu Satap tumbuh menjadi sekolah pelosok yang mampu membangun “realitas tanpa batas” melalui kerja bersama. Para siswa datang dari desa yang jauh membawa semangat yang kuat. Setiap pagi mereka bangun lebih awal, membawa tumbler, siap membaca Al-Qur’an, siap berolahraga, dan siap belajar. Di tempat seperti inilah masa depan Indonesia dibangun— dengan karakter yang tangguh, iman yang terpelihara, dan kemauan untuk berkembang tanpa berhenti. 

 

Penulis: Suganna Wahid, S.Pd.

wpChatIcon
wpChatIcon