Skip to content

Upaya Merayakan Keragaman Budaya melalui Festival 28 Bahasa – SMK BAKTI KARYA PARIGI

Melestarikan Indonesia dari sekolah

Setiap tahun, 9 bahasa berhenti digunakan di seluruh dunia. Jika tidak ada tindakan untuk mengatasi hilangnya bahasa, lebih dari separuh bahasa akan punah dalam 100 tahun mendatang. Di Indonesia, 436 bahasa terancam punah, 251 bahasa stabil, dan 17 bahasa terlembagakan. Bahasa yang terancam punah adalah bahasa yang tidak dipelajari dan tidak gunakan lagi oleh anak-anak. Bahasa stabil adalah bahasa yang masih digunakan masyarakat dan dipelajari anak-anak, meski tidak didukung oleh lembaga formal. Bahasa terlembagakan adalah bahasa yang penggunaannya tetap dipertahankan lewat lembaga formal. Punahnya sebuah bahasa daerah dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti globalisasi, modernisasi, perubahan demografis, dan asimilasi budaya.

Indonesia merupakan negara kepulauan yang kaya akan keragaman suku, budaya, dan agama. Dalam menyikapi kekayaan tersebut, perlu dilakukan upaya konkret untuk melestarikan dan menghargai Keragaman tersebut. Maka perlu ada upaya mewujudkan pemahaman dan kesadaran lebih luas tentang pentingnya menjaga bahasa dan budaya daerah sebagai bagian tak terpisahkan dari identitas nasional Indonesia. Indonesia dikenal sebagai negara megadiversitas dengan lebih dari 17.000 pulau yang dihuni oleh berbagai kelompok etnik dan suku. Setiap kelompok etnik memiliki keunikan bahasa, adat istiadat, seni, dan budaya yang khas. Namun, akibat urbanisasi, globalisasi, dan tekanan dari budaya luar, banyak aspek dari kekayaan budaya ini mengalami ancaman kepunahan.

Upaya melestarikan bahasa dan budaya daerah adalah tanggung jawab bersama yang harus dilakukan secara berkesinambungan. Dengan menggali kearifan lokal, Indonesia dapat tampil sebagai negara yang kuat dengan identitas yang kaya dan beragam. Namun bukan berarti hal itu merupakan pekerjaan yang mudah dan dapat direalisasikan dalam durasi yang sebentar apalagi hanya melalui seminar yang digelar 2-3 jam saja. Melestarikan bahasa dan budaya, dapat dilakukan dengan cara-cara jangka panjang seperti tinggal bersama di bawah satu atap untuk waktu yang cukup lama sehingga memungkinkan orang-orang dari berbagai latar belakang yang ada di dalamnya dapat berinteraksi secara intens dan mendalam. Dengan begitu mereka saling mengenal, memahami, dan mentolerir keterbatasan satu sama lain seperti suasana yang bisa dilihat di SMK Bakti Karya Parigi.

SMK Bakti Karya Parigi sejak tahun 2016 mengupayakan keragaman di sekolah melalui beasiswa Kelas Multikultural. Beasiswa ini mengupayakan hadirnya keragaman latar belakang siswa dari berbagai daerah. Hingga saat ini, 29 Provinsi dengan 36 suku sudah terlibat melalui beasiswa ini. Para peserta didik tidak hanya mendapatkan pembelajaran di dalam kelas, mereka juga tinggal bersama dalam kurun waktu 3 tahun di satu asrama. Mereka memasak bersama, makan bersama, ke ladang bersama untuk menanam padi dan tumbuhan lainnya, mengurus hewan ternak dan lain sebagainya. Mereka terdidik karena lingkungan yang sengaja menempa masing-masing mereka untuk tumbuh sebagai pribadi yang mandiri, bertanggungjawab, dan peduli terhadap sekitarnya.

Di tempat tersebut seluruh peserta didik membangun sebuah pengalaman yang sangat berarti. Terkadang suasana di dalamnya penuh tawa, tapi tidak jarang juga dihiasi dengan pertengkaran karena kesalahpahaman dan ketersinggungan. Tapi para penyelenggara sekolah percaya, lebih baik bertengkar dan tersinggung dalam masa-masa ini kemudian damai secepatnya dibanding bertengkar di masa-masa yang akan datang kemudian bermusuhan berkepanjangan.   Karena itu, untuk menjawab tantangan-tantangan sebagaimana terurai di atas, sejak tahun 2017 SMK Bakti Karya konsisten menyelenggarakan kegiatan Festival 28 Bahasa setiap tahunnya sebagai upaya mengenal lebih dekat dengan saudara-saudara sebangsa lain yang berasal dari berbagai latar belakang sehingga dapat meminimalisir kesalahpahaman yang mungkin akan terjadi di kemudian hari.

 

Festival 28 Bahasa, upaya merayakan Keragaman

Festival 28 Bahasa adalah upaya merayakan Keragaman yang ada di Indonesia. Setiap bulan Oktober, festival ini diselenggarakan dalam rangka merayakan bulan bahasa dan momentum sumpah pemuda. Festival ini menampilkan berbagai pementasan dan kebudayaan dari siswa yang memiliki latar belakang budaya yang beragam.

Secara umum Festival 28 Bahasa bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya menghargai, melestarikan, dan mempromosikan keanekaragaman suku, budaya, dan agama di Indonesia serta pentingnya melestarikan bahasa dan budaya daerah sebagai aset tak ternilai dalam membangun identitas nasional. Secara khusus, dalam proses pembelajaran, Festival 28 Bahasa diharapkan dapat memberikan pembelajaran holistik mengenai Keragaman budaya, suku dan agama melalui pengelolaan event ekspresi dan apresiasi budaya.

Sejak tahun 2021, Festival 28 Bahasa mulai diuji cobakan terintegrasi ke dalam kurikulum. Integrasi dimulai dari sejak persiapan hingga pelaksanaan kegiatan menerapkan proses pembelajaran. Kegiatan dibagi menjadi 4 babak utama yakni diseminasi pengetahuan, latihan dan persiapan, pelaksanaan serta evaluasi.

Festival 28 Bahasa menampilkan berbagai sajian budaya dari mulai orasi kebudayaan, pidato bahasa daerah, dongeng, puisi, musik, tarian, makanan khas daerah, stand dalam bentuk bangunan daerah, permainan tradisional serta sajian lain nya. Selain sajian dari siswa, festival ini juga menyediakan pelatihan dan seminar seperti pelatihan keterampilan, kewirausahaan, edukasi keluarga serta kajian kajian budaya dan sosial bagi masyarakat umum.

Sebagai gambaran tentang betapa hangatnya suasana perayaan festival ini, salah satunya dapat dilihat dari segmen pembacaan pidato atau orasi yang menggunakan bahasa-bahasa daerah. Pada saat anak dari Timur berorasi menggunakan bahasa daerahnya, kawan-kawannya dari daerah lain mungkin tidak dapat memahami, tetapi mereka ikut bersorak-sorai dan sesekali tertawa bilamana sang orator terlihat menunjukkan gelagat melawak. Dapat dipastikan tidak ada satupun hinaan atau narasi merendahkan satu sama lain. Semua peserta didik tampil berani berkat dukungan dan dorongan dari teman-temannya.

Kehangatan tersebut tidak hanya dirasakan oleh keluarga SMK Bakti Karya Parigi saja, masyarakat setempat bahkan orang-orang dari luar Pangandaran yang kebetulan sedang berkunjung ke kegiatan festival juga mendapatkan kesan berharga. Salah satunya bisa dilihat pada saat anak-anak dari timur menggelar “bakar batu” untuk memasak daging kambing dan ayam. Masyarakat awalnya tidak percaya daging yang dimasak dengan batu yang dibakar akan matang sempurna. Namun saat sudah tiba waktu makan dan daging disajikan, masyarakat takjub melihat daging yang siap disantap dan membuat mereka tergiur untuk mencicipinya.

Tidak hanya itu, kegiatan ini juga ingin memperlihatkan fakta-fakta menarik yang menjadi simbol kekayaan Indonesia kepada anak-anak usia dini. Festival 28 bahasa sengaja mengundang instansi pendidikan dasar dan PAUD bukan untuk meramaikan acara semata, lebih dari itu kegiatan festival hendak memberikan semacam shock culture kepada anak-anak usia dini agar mereka terbekali kenyataan keberagaman dari sejak dini.

Harapannya agar mereka kelak dapat menghargai pendapat dan keyakinan yang dimiliki saudara-saudaranya dari berbagai latar belakang yang ada di Indonesia.

Makanya, pada saat anak-anak usia dini yang notabene pengalaman mereka tentang keberagaman sangat terbatas tersebut berjumpa dengan orang yang berbeda seperti halnya orang Papua, Sumatera, dan lain sebagainya, mereka berinteraksi cepat meski mungkin pada awalnya merasa canggung. Dengan begitu, mereka akan belajar cepat tentang bagaimana merespon kenyataan yang sekaligus menjadi simbol kekayaan yang dimiliki Indonesia.

Sejak hadirnya Kurikulum Merdeka, pelaksanaan festival menjadi salah satu bentuk pembelajaran P5. Seluruh kegiatan festival dilakukan dengan menggunakan model pembelajaran blok. Kegiatan dilaksanakan selama kurang lebih 1 bulan.

Dalam prosesnya, pembelajaran dikelola oleh guru yang dikelompokan dalam 3 tim kerja diberi nama Kelompok Kerja Guru (KKG). Kelompok Kerja guru tersebut terdiri dari KKG Media, KKG Humaniora dan KKG Ekologi. Pengelompokan ini ditentukan berdasarkan karakteristik mata pelajaran. Kelompok media merupakan guru-guru yang mengampu mata pelajaran produktif (Mata pelajaran kejuruan Broadcasting dan Perfilman). Kelompok Humaniora adalah guru-guru yang mengampu mata pelajaran yang berhubungan dengan kebudayaan, sosial dan bahasa seperti bahasa indonesia, Pendidikan pancasila dan agama. Kelompok Ekologi adalah guru guru yang terlibat dalam pembelajaran yang berhubungan dengan pengetahuan fisik dan lingkungan seperti matematika, PJOK dan IPAS.

Berikut adalah pembabakan pembelajaran dalam Festival 28 Bahasa secara umum :

Babak

Jenis Materi Kelas Ekologi

Jenis Materi Kelas Humaniora

Jenis Materi Kelas Multimedia

Diseminasi pengetahuan

Seminar Riset Lingkungan

Workshop penulisan naskah, public speaking, riset budaya.

Workshop produksi konten

Latihan dan Persiapan

Pengujian resep hidangan, perancangan stand pulau, Pengkondisian lokasi dan pengadaan kebutuhan

Latihan Orasi, Tari, Teater, Musik dan tampilan lain

Pembuatan konten publikasi dan infografis

Pelaksanaan

Produksi dan penyajian hidangan serta memandu tamu

Penampilan Orasi, Tari, Teater, Musik dan tampilan lain

Pengambilan Foto dan Video

Evaluasi

Membereskan lokasi kegiatan, Laporan Individu dan Penilaian sejawat

 

Diseminasi pengetahuan

Bagian paling penting dalam proses pengelolaan festival adalah mengajak peserta didik untuk menguasai kemampuan literasi dasar. Maka, kegiatan seperti workshop dan pelatihan terkait penelitian, penampilan dan penulisan menjadi materi dasar yang disampaikan. Kegiatan ini melibatkan guru sebagai pengelola kegiatan. Akan tetapi, narasumber dari kegiatan ini dapat melibatkan praktisi seperti peneliti, seniman atau penulis.

 

 

Latihan dan Persiapan

Pada bagian ini, kegiatan pembelajaran meliputi kegiatan persiapan lokasi, penampilan serta persiapan publikasi. Pada kegiatan ini, pendidik ditempatkan sebagai pelatih dan pendamping bagi peserta didik. Selain pendidik, kegiatan juga melibatkan relawan dari mahasiswa dan orang yang tertarik menjadi panitia dan pendamping penampilan.

Peserta didik dalam babak ini diajak untuk mempersiapkan penampilan dari mulai menyusun, berlatih dan mempersiapkan penampilan serta kebutuhannya. Pada praktiknya, kegiatan pembelajaran tidak lagi dikelompokkan berdasarkan mata pelajaran melainkan aktivitas kegiatan seperti penyusunan naskah dan konsep penampilan, latihan, serta persiapan lahan dan stand.

Pelaksanaan

Sajian inti dari pembelajaran ini adalah hari pelaksanaan Festival 28 Bahasa. Dalam proses pembelajaran, hari pelaksanaan ini dianggap sebagai Asesmen Sumatif dari keseluruhan proses. Pada hari pelaksanaan, pendidik diposisikan sebagai asesor yang menilai dan mengevaluasi penampilan serta sebagai pendamping stand daerah dan panitia

Evaluasi

Dalam evaluasi, seluruh warga sekolah membersihkan area kegiatan serta melakukan fase refleksi. Dalam proses pembelajaran, kegiatan ini dikategorikan sebagai Asesmen Formatif sebagai penentu kebijakan pelaksanaan Festival di tahun mendatang. Selama satu minggu siswa dan guru diajak untuk merefleksikan kegiatan festival secara menyeluruh dan detail dari mulai perencanaan, pelaksanaan dan pembelajaran apa yang dirasakan oleh semua orang.

Pada intinya, Festival 28 Bahasa merupakan kegiatan perayaan terhadap keberagaman yang sekaligus terintegrasi dengan kurikulum pembelajaran. Ini adalah satu kesatuan pengalaman yang sangat berarti bagi semua pihak yang terlibat di dalamnya dan akan menjadi bekal mereka untuk menghadapi masa depan yang penuh dengan ketidakpastian. Bagi para siswa, mungkin Festival 28 Bahasa bukan sesuatu yang wajib, tapi menjadi sebuah kewajiban ketika diintegrasikan dengan kurikulum pembelajaran. Meski begitu, mereka gembira menjalankan. Di satu sisi dapat menggugurkan kewajiban akademik, dan di sisi lain ada hal baru yang dapat mewarnai keseharian mereka dengan kedatangan banyak kawan baru, teman baru, dan mungkin suasana yang baru. Sehingga hal tersebut menyegarkan daya mereka untuk selanjutnya dapat kembali menjalankan kehidupan akademik dengan serius.

Kolaborasi dan keberdampakan adalah kunci

Dalam pelaksanaan Festival 28 Bahasa, kolaborasi adalah kunci penting untuk mencapai kesuksesan acara. Sejak tahun 2017, lebih dari 500 orang terlibat sebagai relawan dari kalangan mahasiswa, aktivis, seniman, budayawan dan profesional lain. Selain itu, terlibat juga puluhan mitra lembaga baik dari instansi negara, organisasi, kelompok masyarakat dan perusahan. Keterlibatan berbagai pihak ini dikelompokan menjadi mitra pendampingan, mitra penampilan, mitra funding dan mitra pelaksanaan.

Dengan sistem kolaborasi ini, guru lebih dimudahkan dalam pelaksanaan, sehingga tidak semua proses ditangani oleh guru. Seperti pada proses diseminasi, pembicara dan instruktur dilibatkan sementara guru fokus pada penyusunan proposal dan persiapan strategis. Serta dalam persiapan, guru fokus pada pendampingan emosional sementara pendampingan latihan dan materi penampilan dikelola oleh relawan dari mahasiswa dan praktisi.

Dampak secara umum dari festival 28 bahasa adalah mulai terpaparnya masyarakat sekitar dengan Keragaman. Sekolah pun mulai dikenal sebagai sekolah yang menyelenggarakan event berkala di Kabupaten Pangandaran. Selain itu, sekolah juga memiliki brand identity yang dapat digunakan sebagai daya tawar bagi pihak mitra kolaborasi. Secara khusus dalam pembelajaran, siswa menjadi belajar makna tanggung jawab, kerjasama, menghargai waktu dan kesempatan serta belajar mencintai dan menghargai kebudayaan Indonesia. Siswa juga lebih mengapresiasi dirinya dan orang lain karena merasakan menampilkan kebudayaannya kepada khalayak luas. Lebih spesifik lagi, siswa juga mengalami langsung konflik dan belajar menyelesaikan konflik secara dialektis dan musyawarah. Konflik yang terjadi dalam penyelenggaran justru menjadi media belajar untuk saling memaafkan dan menyelesaikan masalah.

Mengingat peserta yang terlibat dalam kegiatan festival tersebut tidak hanya berasal dari siswa, guru, maupun masyarakat setempat, maka dampak positif secara langsung juga dirasakan oleh peserta dari luar daerah. Sebagai contohnya peserta yang notabene seorang mahasiswa dari kota-kota besar seperti Jakarta dan bandung yang sengaja melibatkan diri mereka pada kegiatan festival 28 bahasa. Sebagian besar dari mereka menyatakan kesannya yang luar biasa di setiap proses pelaksanaan kegiatan festival. Ada yang terkesan karena penyambutan siswa-siswinya yang hangat, ada juga yang terkesan terhadap kualitas acaranya yang bisa dikatakan megah meski digelar di tengah-tengah perkampungan masyarakat, dan yang paling penting semua tamu dilayani dan dipersembahkan aneka ragam ekspresi kebudayaan dalam satu waktu dan dalam satu tempat oleh putra-putri terbaik asli daerah.

Hal yang tak boleh luput dari perhatian kita semua adalah bahwa dampak luar biasa dari diadakannya kegiatan festival adalah terjadi kepada para orang tua siswa. Para orang tua yang pada awalnya merasa sedikit ragu untuk melepaskan anaknya agar bersekolah di pelosok Jawa Barat bagian selatan ini, pelan-pelan menjadi sebuah keyakinan yang mantap akibat kegiatan-kegiatan yang digelar di sekolah, khususnya kegiatan festival 28 bahasa. Mereka yang semula khawatir anaknya akan mengalami “Islamisasi” karena berada di lingkungan masyarakat muslim, akhirnya tidak khawatir lagi karena anak-anak mereka menjalankan keyakinan dan tradisi yang dipegang selama ini dengan bebas dan aman. Namun, lagi-lagi bukan berarti kegiatan yang memiliki dampak luar biasa itu sama sekali tidak memiliki tantangan dan hambatan yang luar biasa pula. Kami memegang teguh prinsip yang mengatakan bahwa tantangan dan hambatan merupakan pembelajaran yang berharga untuk tumbuh menjadi pribadi yang semakin dewasa.

 

Tantangan dan hambatan adalah sumber belajar

Umumnya, tantangan yang sering dihadapi dalam pelaksanaan Festival 28 Bahasa adalah permasalahan finansial. Maka penyelenggara memang harus awas dan cerdik menyusun strategi sponsorship dan donasi kegiatan. Hal ini biasanya diatasi dengan cara merawat komunikasi dengan mitra yang pernah terlibat dan membuka peluang kemitraan baru dengan pihak yang memiliki visi dan concern yang sama pada isu Keragaman dan toleransi.

Tantangan lain adalah proses pendampingan dalam latihan dan persiapan. Apra pendamping harus tahu betul karakter dan kondisi setiap siswa agar dapat memotivasi siswa menjalankan persiapan dan latihan. Kondisi seperti mood swing, keletihan dan kepadatan waktu latihan dapat diatas dengan manajemen waktu dan kegiatan yang baik. Menyelingi kegiatan dengan aktivitas fun dan rekreatif cenderung dapat membantu proses latihan dapat lebih menyenangkan.

Dalam pelaksanaan, tantangannya adalah menghadirkan massa dalam kegiatan. Hal ini dapat diatasi dengan melibatkan berbagai stakeholder seperti pemerintahan tingkat desa, dinas pendidikan, forum kemasyarakatan serta instansi pendidikan. Selain itu, kualitas isi tampilan dan tamu penampil yang dipublikasikan dapat sangat membantu menarik pengunjung.

Karenanya, untuk menjaga kualitas tampilan yang dipersembahkan oleh siswa-siswi SMK Bakti Karya kepada para tamu, para penampil tidak diperkenankan untuk mengerjakan pekerjaan yang berat seperti ikut terlibat dalam pendirian pentas, menyiapkan kursi, atau membangun rumah adat. Ini menjadi tantangan yang cukup berarti karena pada saat kegiatan festival membutuhkan tenaga yang sangat banyak justru harus terbuang beberapa karena pertimbangan memperbagus kualitas penampilan. Itulah kenapa panggilan kepada publik terus disuarakan agar kegiatan festival ini tidak hanya menjadi kegiatan untuk sekolah, melainkan menjadi kegiatan bersama dan untuk kebaikan bersama.

Persoalan lain yang sering dihadapi saat menyelenggarakan kegiatan ini adalah perihal kesiapan peserta penampil dimana sebagian besar mereka terdiri dari siswa-siswa baru yang belum genap satu tahun bahkan satu semester menjalankan studi di SMK Bakti Karya Parigi. Untungnya, sesuatu yang akan mereka tampilkan adalah seputar apa yang mereka ketahui. Jadi, mereka tidak perlu menyiapkan sesuatu dari nol. Seperti persembahan kuliner nusantara yang mungkin mereka sudah terbiasa membuat di rumahnya, atau seperti pembuatan rumah adat yang mungkin mereka ikut menyaksikan dan terlibat dalam pembangunan rumah adat di kampungnya, atau seperti orasi yang barangkali pernah mereka tampilkan di sekolah sebelumnya. Sekalipun performa mereka mungkin belum maksimal karena tampil di daerah baru, tapi semuanya tampil sesuai dengan apa yang mereka bisa. Salah satu faktor yang mendorong keberanian mereka tampil adalah prinsip yang diajarkan di sekolah bahwa siswa SMK Bakti Karya Parigi dilarang keras untuk mengatakan “tidak mau, tidak mampu, dan tidak tahu”.

Ayo menjadi bagian yang mewarnai Indonesia

Kegiatan Festival 28 Bahasa merupakan cara untuk merawat kekayaan yang dimiliki Indonesia. Upaya mempertahankan bahasa dan budaya agar tidak punah dapat dilakukan dengan cara-cara kreatif dan menyenangkan layaknya kegiatan ini. Orang-orang yang terlibat di dalamnya dengan bangga menyadari sekaligus mengakui kehebatan apa yang dimilikinya saat ini. Bahasa daerah yang barangkali mulai memudar akibat pengaruh urbanisasi atau globalisasi pelan-pelan disadari sebagai sesuatu yang perlu dijaga sepenuh hati agar tidak hilang dan tidak berbekas.

Membuat kegiatan ini sebenarnya tidak terlalu sulit apalagi dikerjakan secara bersama-sama dan melibatkan banyak pihak agar terlibat di dalamnya secara aktif. Dengan niat dan i’tikad yang serius serta kemauan yang tinggi untuk merealisasikan, maka tidak perlu menunggu lama untuk mewujudkan kegiatan ini. Barangkali secara metode dan alur acara tidak perlu terlalu sama, tapi secara konsep besar dan prinsip mendasar haruslah sama, yakni menebar kebahagiaan kepada banyak orang, menjaga kekayaan yang dimiliki negeri ini, dan menumbuhkan rasa aman kepada diri setiap orang untuk mengekspresikan yang ia yakini. 

Bagi sekolah yang tertarik mereplikasi kegiatan serupa, sangat disarankan untuk melakukan studi tiru terlebih dahulu dengan sekolah yang menyelenggarakan event atau bisa juga dengan mengunjungi kegiatan umum yang dilaksanakan di lingkungan terdekat. Optimasi kolaborator seperti perguruan tinggi, komunitas, instansi atau dunia usaha akan sangat membantu dalam pelaksanaan. Terakhir pengelola lembaga juga perlu menentukan tujuan akhir yang spesifik dan terukur. Hal ini akan menentukan pemberdayaan SDM yang tersedia. Misal jika fokus utama adalah perkembangan siswa, sekolah dapat menggunakan guru sebagai pengelola. Akan tetapi jika fokus tujuan adalah brand identity, pelibatan relawan atau pihak ketiga akan sangat membantu penyelenggaran dan mengurangi beban tugas SDM yang ada.

Selain itu, untuk menghasilkan kegiatan yang berdampak luas, publikasi dan mempersering penyediaan informasi kegiatan adalah kunci yang paling menentukan. Selain menarik massa untuk hadir, kekuatan sebuah publikasi dan kampanye secara berkala akan memberikan daya kesan yang luar biasa kepada banyak pihak. Mereka tidak akan sabar untuk ikut terlibat di kegiatan serupa mendatang.

Selanjutnya, sebagai lembaga pendidikan, sekolah tidak hanya memiliki tanggung jawab pada kualitas pendidikan siswa nya atau kondisi sekolahnya semata. Lembaga pendidikan juga dapat diposisikan sebagai penentu kualitas kehidupan di daerahnya bahkan di negaranya, Indonesia. Dengan menyelenggarakan kegiatan festival, sekolah akan mampu memberikan alternatif hiburan bagi masyarakat sekitar serta memberikan ruang apresiasi seni dan budaya yang ada di Indonesia.

Sekolah juga pada akhirnya dapat dikenal dan memiliki brand identity sendiri. Hal ini dapat menumbuhkan kepercayaan diri pada identitas almamater bagi siswa dan alumni. Dengan kualitas kegiatan yang baik, Sekolah tidak hanya bermanfaat bagi siswa dan orang tua yang terlibat, bahkan bagi masyarakat yang luas. Jadi, ayo mulai susun ide kegiatan di sekolahmu mulai sekarang dan ikut warnai Indonesia. Rayakan kekayaan melimpah yang dimiliki Indonesia mulai dari apa yang ada di dalam tanahnya, apa yang ada di dalam airnya, dan apa yang ada di udaranya dengan penuh suka cita.

Referensi dan sumber :

https://www.sbk.sch.id/f28b/

https://www.activesustainability.com/climate-change/climate-change-languages/

https://www.rri.co.id/nasional/857664/indonesia-memiliki-425-bahasa-yang-terancam-punah

https://badanbahasa.kemdikbud.go.id/artikel-detail/4160/rapor-merah:-bahasa-daerah-di-indonesia-akan-punah

 

Penulis: Athif Roihan Natsir – SMK Bakti Karya Parigi

wpChatIcon
wpChatIcon