Skip to content

Dukungan Sebaya: Merawat Aksi Mahasiswa dalam Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual

“Apabila …

Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan

Dituduh subversif dan mengganggu keamanan

Maka hanya satu kata: lawan!”

 

 Cukilan sajak Peringatan (Widji Tukul, 1986)

 

Pendahuluan

Dosa Besar Pendidikan

Kekerasan seksual di lingkungan pendidikan tinggi masih menjadi kemelut yang intens dan mendesak di Indonesia. Catatan Tahunan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) tahun 2023 mencatat bahwa terdapat 2.139 penyintas kekerasan seksual yang berasal dari kalangan pelajar dan mahasiswa (Komnas Perempuan, 2024). Fakta ini menunjukkan bahwa kekerasan seksual tidak hanya terjadi di ruang publik, tetapi juga di dalam institusi pendidikan yang seharusnya menjadi tempat yang aman untuk belajar dan berkembang.

Ironisnya, laporan tersebut juga mengungkap bahwa pelaku kekerasan seksual acapkali melibatkan mereka yang memiliki posisi otoritas dalam masyarakat, seperti aparat penegak hukum (APH), pegawai negeri sipil (PNS), guru, tokoh agama, serta anggota TNI dan POLRI. Oknum ini, yang seharusnya menjadi pelindung dan panutan, malah sengaja terlibat dalam tindakan yang menginjak-injak norma dan nilai kemanusiaan (Komnas Perempuan, 2024).

Kompleksitas kasus yang melibatkan pemangku kekuasaan, menambah tantangan dalam pengungkapan dan penanganan kekerasan seksual. Elindawati (2021) menunjukkan kekerasan seksual yang melibatkan pihak berkuasa, sehingga sering kali sulit diungkap karena adanya ketakutan, intimidasi, dan tekanan untuk tetap diam dari lingkungan sosial maupun institusi yang terlibat. Pembungkaman, tak ayal menjadi turunan langsung dosa besar pendidikan.

 

Mahasiswa adalah Koentji

Menyikapi kenyataan ini, keterlibatan mahasiswa menjadi sangat krusial. Sebagai agen perubahan, mahasiswa memiliki peran strategis dalam menciptakan lingkungan yang aman dan bebas dari kekerasan seksual. Posisi mereka yang dekat dengan penyintas menjadikan mahasiswa memiliki potensi besar untuk mendukung pengungkapan kasus kekerasan seksual dan memberikan dukungan bagi penyintas. Pradipta (2024) menunjukkan bahwa mahasiswa memiliki pengaruh besar dalam menggerakkan aksi kolektif untuk melawan kekerasan seksual di kampus. Aksi mahasiswa yang didorong oleh rasa keadilan dan solidaritas sering kali menjadi pemicu pengungkapan kasus-kasus yang sebelumnya (di)lenyap(kan).

Gerakan mahasiswa di berbagai kampus telah menunjukkan keberhasilan dalam mendorong pengungkapan kasus kekerasan seksual dan mendesak perbaikan sistemik dalam penanganannya. Misalnya, kampanye “Melawan Kekerasan Seksual” di beberapa universitas besar di Indonesia berhasil membuka ruang diskusi dan menekan pihak kampus untuk lebih proaktif dalam menangani laporan kekerasan seksual (Hamzah, 2022). Mahasiswa berperan sebagai aktor kunci dalam menciptakan perubahan, baik melalui aksi protes, penyuluhan, maupun pembentukan unit layanan kekerasan seksual di lingkungan kampus.

Namun, perjuangan ini tidak terlepas dari tantangan. Mahasiswa sering menghadapi hambatan dari pihak institusi yang cenderung mempertahankan status quo atau bahkan melindungi pelaku, terutama jika pelaku memiliki hubungan dengan otoritas kampus. Selain itu, stigma sosial yang melekat pada penyintas kekerasan seksual masih menjadi hambatan besar dalam penanganan kasus (Mas’udah, 2022). Meski demikian, semangat mahasiswa untuk memperjuangkan hak-hak penyintas dan menciptakan kampus yang aman tetap menjadi kekuatan pendobrak dalam gerakan anti kekerasan seksual.

Dalam hal advokasi kebijakan, mahasiswa juga memegang peranan penting. Dengan adanya Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi, mahasiswa diberikan ruang untuk terlibat dalam pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di kampus. Regulasi ini memberikan landasan hukum yang jelas, namun implementasinya sangat bergantung pada partisipasi aktif dari seluruh elemen kampus, termasuk mahasiswa (Kemdikbudristek, 2021). Dalam penelitian yang dilakukan oleh Kusuma (2023), dijelaskan bahwa partisipasi mahasiswa dalam mengadvokasi regulasi ini dapat mempercepat adopsi kebijakan di tingkat institusi, sekaligus memperkuat mekanisme perlindungan bagi penyintas.

 

Pendekatan PPKS Undana

Universitas Nusa Cendana berinisiatif untuk mengoptimalkan ruang dan peran mahasiswa dalam pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Program mengedepankan pendekatan sebaya, di mana mahasiswa dilatih untuk menjadi pendamping sebaya yang mampu memberikan dukungan emosional dan pendampingan kepada penyintas. Sesuai penelitian Isni (2021), pendekatan konseling sebaya telah terbukti efektif dalam menciptakan lingkungan yang lebih suportif bagi penyintas kekerasan seksual di dunia pendidikan. Pendekatan ini tidak hanya memberikan rasa nyaman bagi penyintas untuk berbicara, tetapi juga membantu mengurangi isolasi sosial yang sering dialami oleh penyintas. Pelatihan Psychological First Aid menjadi titik yang krusial untuk menggapai tujuan utama program.

Selain proses pemulihan dan pendampingan penyintas kekerasan seksual, mahasiswa memegang potensi strategis untuk terlibat aktif dalam menciptakan kampus yang aman dan inklusif, menjadi penggerak perubahan sosial yang lebih luas, baik melalui kampanye kesadaran, penguatan regulasi, maupun pendampingan penyintas. Selain itu, proses penelitian kolaboratif antara dosen dan mahasiswa menjadi jalan untuk mengintegrasikan kegiatan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual dengan kegiatan tridharma. Dengan kolaborasi yang kuat antara mahasiswa, dosen, staf, dan lembaga kampus, serta dukungan dari masyarakat luas, kampus di Indonesia dapat menjadi pelopor dalam gerakan untuk menghentikan kekerasan seksual.

 

Deskripsi Praktik Baik

Satgas PPKS Undana

Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) di Universitas Nusa Cendana (Undana) dibentuk pada tahun 2022 melalui Keputusan Rektor No. 1303/DK/2022, sebagai langkah konkret untuk menangani isu kekerasan seksual di lingkungan kampus. Satgas ini diketuai oleh Dr. Simplexius Asa, M.H., dan terdiri dari tiga divisi utama: Divisi Pencegahan, Divisi Pelaporan, dan Divisi Pemulihan, beranggotakan 23 orang dari elemen mahasiswa (14 orang, 9 perempuan, 5 laki-laki), dosen dan tenaga kependidikan (9 orang, 6 perempuan dan 3 laki-laki).  Masing-masing divisi memiliki tanggung jawab khusus yang saling melengkapi untuk memastikan pencegahan, penanganan, dan pemulihan bagi penyintas kekerasan seksual dapat berjalan secara efektif dan terstruktur, sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP) PPKS yang telah disusun bersama.

 

Standar Operasional Prosedur PPKS Undana

 

Divisi Pencegahan

Divisi Pencegahan bertugas untuk meminimalisasi risiko terjadinya kekerasan seksual di lingkungan kampus. Tanggung jawab utama dari divisi ini meliputi perencanaan dan pelaksanaan program-program edukasi dan sosialisasi yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran seluruh civitas akademika tentang kekerasan seksual. Program edukasi tersebut mencakup peer teaching, lokakarya, pelatihan, dan kampanye pencegahan kekerasan seksual, yang dirancang untuk memberikan pemahaman yang mendalam mengenai definisi kekerasan seksual, bentuk-bentuk kekerasan, serta cara mengidentifikasi dan menghindarinya. Selain itu, divisi ini bekerja sama dengan fakultas dan organisasi mahasiswa untuk memastikan bahwa informasi tentang mekanisme pelaporan kekerasan seksual mudah diakses oleh seluruh mahasiswa. Divisi Pencegahan juga bertanggung jawab dalam membantu mengembangkan dan mengimplementasikan kebijakan kampus yang berorientasi pada pencegahan kekerasan seksual. Kebijakan ini mencakup panduan perilaku yang wajib diikuti oleh seluruh warga kampus, termasuk peraturan tentang interaksi yang aman dan etis di antara mahasiswa, dosen, dan staf kampus. Selain itu, divisi ini melakukan evaluasi berkala terhadap lingkungan kampus guna mengidentifikasi area-area yang berpotensi menjadi lokasi rawan kekerasan seksual, serta merumuskan langkah-langkah pencegahan yang tepat.

 

Divisi Pelaporan

Divisi Pelaporan memiliki peran krusial dalam menyediakan jalur pelaporan yang aman, rahasia, dan mudah diakses bagi penyintas atau saksi kekerasan seksual. Tugas utama dari divisi ini adalah memastikan bahwa sistem pelaporan berjalan dengan baik dan responsif terhadap kebutuhan pelapor. Divisi ini telah mendesain mekanisme pelaporan yang mencakup beberapa jalur, seperti pelaporan online, hotline, serta pusat pelaporan yang dikelola oleh Satgas. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kemudahan dan fleksibilitas bagi penyintas atau saksi untuk melaporkan kejadian tanpa takut akan dampak negatif atau intimidasi.

 

Ketua Satgas PPKS Undana:

Dr. Simplexius Asa, M.H, 

 

Selain menangani pelaporan, Divisi Pelaporan juga berperan dalam melakukan investigasi awal terhadap kasus yang dilaporkan. Proses ini dilakukan dengan hati-hati dan penuh kerahasiaan untuk melindungi identitas penyintas serta menjaga integritas penyelidikan. Setelah laporan diterima, divisi ini bekerja sama dengan pihak-pihak terkait, termasuk tim hukum, untuk menindaklanjuti laporan sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan. Divisi ini juga bertanggung jawab dalam memberikan informasi kepada penyintas mengenai hak-hak mereka, langkah-langkah hukum yang dapat diambil, serta dukungan yang tersedia selama proses pelaporan dan investigasi berlangsung.

 

Divisi Pemulihan

Divisi Pemulihan memiliki fokus utama pada pemberian dukungan dan layanan pemulihan bagi penyintas kekerasan seksual. Setelah laporan diterima dan ditindaklanjuti, divisi ini berperan dalam memastikan bahwa penyintas mendapatkan akses penuh ke layanan pemulihan yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Layanan ini meliputi konseling psikologis, dukungan medis, serta pendampingan hukum yang bertujuan untuk membantu penyintas pulih secara fisik dan emosional dari trauma yang dialami. Kami menyadari, penyintas kekerasan seksual memerlukan pendampingan jangka panjang, dan divisi ini memastikan bahwa dukungan tetap tersedia sepanjang proses pemulihan.

 

Tujuan dan Misi Bersama

Komitmen untuk menciptakan lingkungan kampus yang aman dan mendukung bagi seluruh civitas akademika adalah misi utama yang diemban oleh satgas PPKS. Bercermin pada tujuan tersebut, kami berupaya untuk mengejawantahkan optimalisasi peran mahasiswa dalam pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Universitas Nusa Cendana berkomitmen untuk memberdayakan mahasiswa dengan pengetahuan, keterampilan, dan sumber daya yang diperlukan agar mereka dapat berperan aktif dalam menciptakan lingkungan kampus yang aman. Alih-alih meminggirkan dan menafikkan semangat mahasiswa, kami sejak dini justru berusaha melibatkan mahasiswa secara langsung dalam berbagai aspek pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Universitas berharap dapat mengurangi prevalensi kekerasan, meningkatkan kesadaran tentang isu ini, dan memperkuat sistem pelaporan serta dukungan bagi penyintas.

 

Program dan Strategi Satgas PPKS

  1. Pendampingan sebaya

Program pendampingan di Undana adalah salah satu langkah utama untuk mendukung para penyintas kekerasan seksual. Program ini dirancang agar penyintas merasa lebih nyaman dan aman saat menceritakan pengalaman mereka kepada teman sebaya, yaitu sesama mahasiswa yang sudah dilatih untuk memberikan dukungan. Ide utamanya adalah bahwa penyintas cenderung lebih terbuka dan merasa lebih dipahami oleh orang yang seusia atau setara, karena ada kesamaan dalam pengalaman hidup atau situasi yang mereka hadapi di lingkungan kampus.

Pendamping sebaya bertujuan untuk menjadi sahabat yang bisa mendengarkan, memberikan dukungan, dan membantu penyintas mengakses bantuan lebih lanjut (Marhan dkk, 2022). Konsep dasar dari pendampingan sebaya ini adalah bahwa penyintas sering kali merasa malu atau takut untuk berbicara dengan pihak yang dianggap lebih berotoritas, seperti dosen atau staf kampus. Berangkat dari titik ini, kami merekomendasikan bahwa pendampingan sebaya sudah dimulai sejak proses pelaporan dilakukan. Seiring kehadiran teman sebaya, penyintas bisa lebih leluasa mengungkapkan apa yang mereka alami dan rasakan tanpa merasa dihakimi. Pendamping sebaya laksana jembatan yang membantu penyintas untuk berani berbicara dan bergerak mengakses bantuan yang lebih formal saat diperlukan.

Sebelum menjadi pendamping sebaya, mahasiswa yang tertarik harus melalui pelatihan terlebih dahulu. Pelatihan ini mencakup berbagai topik penting seperti pemahaman tentang kekerasan seksual, cara mendengarkan secara empatik, dan teknik memberikan dukungan emosional. Selain itu, mereka juga belajar bagaimana menjaga kerahasiaan informasi, menangani situasi darurat, serta tahu kapan harus mengarahkan penyintas ke layanan profesional. Meski pendamping sebaya bukan seorang ahli atau profesional, mereka tetap harus memahami batasan peran mereka dan fokus pada memberikan dukungan psikologis awal dan rasa aman kepada penyintas. Materi-materi tersebut terangkum dalam Psychological First Aid bagi mahasiswa baik satgas maupun non-satgas yang terpanggil untuk melakukan pendampingan.

Pelaksanaan program pendampingan sebaya ini berjalan cukup fleksibel. Pendamping sebaya dapat memberikan dukungan melalui pertemuan tatap muka, maupun komunikasi online. Mereka juga menerapkan pendekatan yang disebut trauma-informed care, yang berarti mereka memahami bahwa penyintas mungkin mengalami trauma, dan pendekatan yang digunakan harus sangat berhati-hati agar tidak memperburuk kondisi penyintas. Fokus utama dari pendekatan ini adalah memberikan rasa aman dan mendukung proses pemulihan penyintas secara perlahan, sesuai dengan keinginan dan kesiapan mereka.

Manfaat dari pendampingan sebaya terasa besar, baik bagi penyintas maupun kampus secara keseluruhan. Bagi penyintas, program ini membantu mereka merasa lebih didukung secara emosional. Mereka bisa membicarakan trauma mereka tanpa takut dihakimi, yang membuat proses pemulihan lebih cepat dan efektif. Selain itu, pendamping sebaya juga bisa menjadi teman yang ada di sisi penyintas, sehingga penyintas tidak merasa sendirian dalam menghadapi masalah mereka. Di sisi lain, kampus juga mendapatkan manfaat dari program ini karena menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan suportif bagi seluruh mahasiswa.

Selain mendukung secara emosional, pendamping sebaya juga membantu penyintas mengakses layanan profesional di kampus, seperti layanan oleh psikolog profesional dan bantuan dalam proses hukum. Peran ini sangat penting, karena banyak penyintas yang mungkin tidak tahu harus mulai dari mana atau merasa bingung dengan prosedur yang ada. Kerjasama antara pendamping sebaya dan psikolog satgas PPKS kami, Rizky Pradita Manafe, S. Psi, M.Psi, Psikolog, terbukti efektif melunakkan dinding penyekat, yang kerap menjadi tantangan Satgas, yakni ketika penyintas gamang untuk terbuka, bercerita, dan berbagi.

Program pendampingan sebaya di Universitas Nusa Cendana juga memainkan peran penting dalam membantu proses hukum bagi penyintas kekerasan seksual. Salah satu kontribusi utama pendamping sebaya adalah menyusun laporan pendampingan bersama psikolog yang ditunjuk Satgas, yang dapat diserahkan kepada pihak berwenang, seperti kepolisian. Laporan ini mencakup kronologi kejadian dan informasi penting lainnya yang dibagikan oleh penyintas kepada pendamping, sehingga mereka tidak harus menceritakan kembali pengalaman traumatik mereka secara berulang-ulang.

Pendekatan ini sangat penting karena bagi penyintas, mengulang cerita kekerasan yang mereka alami bisa membebani kesehatan mental mereka. Dengan adanya laporan dari pendamping sebaya dan psikolog PPKS, proses pengaduan hukum bisa berjalan lebih efisien dan tetap berfokus pada pemulihan mental penyintas. Pendamping sebaya juga berperan sebagai penyambung informasi antara penyintas dan aparat penegak hukum, memastikan bahwa hak-hak penyintas tetap terlindungi selama proses hukum berlangsung. Dengan bantuan pendamping sebaya, penyintas merasa lebih didukung dan yakin dalam menjalani proses hukum, yang sering kali memakan waktu dan sangat membebani secara emosional. Peran pendamping ini menjadi bagian penting dari sistem dukungan kampus yang lebih luas untuk membantu penyintas mendapatkan keadilan tanpa harus mengalami kembali rasa sakit akibat kekerasan yang mereka derita.

Secara keseluruhan, program pendampingan sebaya di Universitas Nusa Cendana adalah langkah penting dalam menciptakan kampus yang aman dan peduli terhadap penyintas kekerasan seksual. Dengan adanya dukungan dari teman sebaya, penyintas bisa merasa lebih kuat dan berani untuk memulai proses pemulihan mereka, tanpa merasa sendirian. Program ini juga menjadi salah satu bentuk nyata dari komitmen kampus untuk melindungi dan mendukung mahasiswa dalam situasi yang sulit.

 

  1. Tutor sebaya

Program tutor sebaya di Universitas Nusa Cendana (Undana) merupakan inisiatif penting dalam upaya pencegahan kekerasan seksual di kampus. Pendekatan yang berbasis pada peer education dan psikoedukasi ini memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk saling belajar dan mendukung satu sama lain, menciptakan suasana yang lebih santai namun tetap efektif dalam menyampaikan pesan penting terkait pencegahan kekerasan seksual.

Salah satu kegiatan yang melibatkan tutor sebaya adalah Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru (PKKMB). Dalam kegiatan ini, tutor sebaya memiliki peran sentral dalam memberikan edukasi kepada mahasiswa baru tentang pentingnya menjaga lingkungan kampus yang aman dan bebas dari kekerasan seksual. Mahasiswa baru diperkenalkan pada konsep dasar tentang kekerasan seksual, bagaimana cara mengenalinya, serta langkah-langkah yang harus diambil jika mereka menyaksikan atau mengalami kekerasan seksual di kampus. Tutor sebaya berfungsi sebagai penyambung materi yang diberikan oleh pihak kampus dan mahasiswa baru, sehingga materi yang disampaikan lebih mudah dipahami dan relevan dengan kehidupan sehari-hari mereka sebagai mahasiswa.

 

PKKMB oleh beberapa tutor sebaya Yudhistira Tuka (atas kiri), Fitri A. Hagi Wila (atas tengah), dosen Rosalind Angel Fanggi, M.H. (atas kanan), Bili Nesimnasi (bawah kiri), Melvin Takoy (bawah tengah), kelompok peer tutor (bawah kanan).

 

Keunggulan dari keterlibatan tutor sebaya dalam PKKMB adalah pendekatan yang lebih personal dan interaktif. Mahasiswa baru, yang mungkin merasa canggung atau takut untuk membicarakan topik sensitif seperti kekerasan seksual, cenderung lebih nyaman berdiskusi dengan tutor sebaya yang usianya tidak terlalu jauh dengan mereka. Ini menciptakan ruang diskusi yang lebih terbuka, di mana mahasiswa baru bisa mengajukan pertanyaan dan berbagi pemikiran mereka tanpa merasa dihakimi. Tutor sebaya juga berperan sebagai role model yang menunjukkan bagaimana bersikap proaktif dalam melawan kekerasan seksual, mengajarkan nilai-nilai seperti saling menghormati, empati, dan kepedulian terhadap sesama mahasiswa.

Selain PKKMB, program tutor sebaya juga mencakup pelatihan mengenai Prevention of Sexual Exploitation and Abuse (PSEA). Dalam pelatihan ini, metode Peer Assisted Learning (PAL) digunakan sebagai pendekatan utama. Peer Assisted Learning adalah metode di mana tutor sebaya, yang telah dilatih sebelumnya oleh para ahli di bidang kekerasan seksual, menjadi fasilitator dalam pelatihan kepada sesama mahasiswa. Bergerak dalam konteks PSEA, PAL digunakan untuk memberikan pemahaman yang lebih mendalam mengenai eksploitasi dan pelecehan seksual, terutama dalam situasi-situasi yang seringkali tidak disadari oleh mahasiswa. Melalui PAL, mahasiswa diajak untuk lebih peka terhadap tanda-tanda kekerasan seksual dan eksploitasi, serta diajarkan tentang mekanisme pelaporan jika mereka menyaksikan atau mengalami kekerasan seksual.

Pelatihan PSEA oleh tutor sebaya tidak hanya bersifat teoritis, tetapi juga melibatkan simulasi situasi nyata yang mungkin terjadi di lingkungan kampus. Mahasiswa diajak untuk berperan aktif dalam skenario tersebut, belajar bagaimana merespons situasi berisiko, serta memahami pentingnya menjaga lingkungan kampus yang aman. Pendekatan yang interaktif ini membuat pelatihan PSEA lebih mudah diterima oleh mahasiswa, karena mereka tidak hanya mendengarkan materi, tetapi juga langsung mempraktikkannya. Tutor sebaya memainkan peran penting dalam memastikan bahwa materi yang disampaikan tidak hanya bersifat informatif, tetapi juga relevan dan aplikatif bagi kehidupan mahasiswa sehari-hari.

 

Hadapi intimidasi bersama peer tutor, Videlis Rinto Baro Kaleka dan Dr. Detji K. E. R. Nuban, M.Hum; Keberanian untuk melawan status quo merupakan isu sentral dalam edukasi oleh mahasiswa .

 

Selain pelatihan formal, program tutor sebaya juga menggunakan media kreatif untuk menjangkau lebih banyak mahasiswa. Salah satu inovasi yang menarik adalah penggunaan podcast sebagai media komunikasi. Dalam podcast ini, tutor sebaya membahas berbagai isu terkait pencegahan kekerasan seksual, berbagi pengalaman pribadi, serta membahas tips bagaimana menghadapi situasi-situasi yang berpotensi menimbulkan kekerasan seksual. Format podcast yang santai dan fleksibel memungkinkan mahasiswa untuk mendengarkan materi kapan saja dan di mana saja, tanpa merasa terbebani. Podcast ini juga menghadirkan narasumber ahli seperti psikolog, aktivis, atau praktisi hukum, yang memberikan perspektif tambahan dan mendalam tentang isu kekerasan seksual di kampus.

 

Sore Ceria di RRI Pro 2 bersama Marleny P. Panis, M.Si., Christanti L. Lankuy, Molina Olivia Odja, M.T., dan Yudhistira Tuka

 

Dengan adanya siaran dan podcast, kampanye pencegahan kekerasan seksual dapat disebarluaskan lebih luas lagi, menjangkau mahasiswa yang mungkin tidak bisa hadir dalam pelatihan atau seminar. Mahasiswa bisa mendapatkan pengetahuan yang mereka butuhkan dengan cara yang lebih sesuai dengan gaya hidup mereka. Selain itu, podcast ini juga menciptakan ruang diskusi yang terbuka, di mana tutor sebaya dan narasumber bisa berbicara dengan lebih santai, namun tetap memberikan informasi yang penting dan relevan. Kehadiran podcast ini memperkuat peran tutor sebaya sebagai agen perubahan di kampus, yang tidak hanya memberikan edukasi di ruang kelas, tetapi juga menggunakan teknologi untuk menjangkau mahasiswa di platform yang lebih populer di kalangan anak muda.

 

  1. Peningkatan Kapasitas

Peningkatan kapasitas mahasiswa di Universitas Nusa Cendana (Undana) dilakukan melalui serangkaian pelatihan yang bertujuan untuk memperkuat peran mahasiswa dalam pencegahan kekerasan seksual di lingkungan kampus. Berbagai pelatihan yang diselenggarakan tidak hanya fokus pada pencegahan, tetapi juga melibatkan pengembangan keterampilan mahasiswa dalam menangani kasus-kasus kekerasan seksual dan memberikan dukungan bagi penyintas. Pelatihan terhadap mahasiswa dilaksanakan melalui kolaborasi bersama unit Health Promoting University (HPU), dengan ketua Dr. dr Nicholas Edwin Handoyo dan didanai melalui kerjasama internasional dengan Mennonite Central Committee United State of America (MCC US).

Training of Trainers (ToT) Prevention of Sexual Exploitation and Abuse (PSEA) adalah pelatihan intensif yang dirancang untuk melatih mahasiswa agar memiliki kemampuan dan pengetahuan yang mendalam dalam mencegah eksploitasi dan pelecehan seksual. Pelatihan ini memberikan mahasiswa keterampilan untuk menjadi pelatih bagi sesama mahasiswa serta staf kampus lainnya. Dalam pelatihan ini, peserta diajarkan untuk mengenali berbagai bentuk eksploitasi dan pelecehan seksual, memahami dampaknya terhadap penyintas, dan mengetahui langkah-langkah pencegahan yang dapat diterapkan di lingkungan kampus. Setelah mengikuti ToT PSEA, mahasiswa yang terlatih dapat berperan sebagai tutor sebaya dalam sesi-sesi pelatihan berikutnya, menyebarkan pengetahuan ini kepada lebih banyak mahasiswa dan civitas akademika lainnya.


Training of Trainers (ToT) Prevention of Sexual Exploitation and Abuse (PSEA)

 

Selanjutnya, pelatihan Prevention of Sexual Exploitation and Abuse (PSEA) juga diberikan secara khusus kepada dosen, mahasiswa, dan tenaga kependidikan (tendik) di kampus. Pelatihan ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan kemampuan seluruh anggota kampus dalam mencegah terjadinya pelecehan dan eksploitasi seksual. Dengan melibatkan berbagai elemen di dalam kampus, pelatihan ini menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan kolaboratif dalam upaya pencegahan kekerasan seksual. Semua pihak, mulai dari dosen, mahasiswa, hingga staf administratif, dibekali dengan pengetahuan tentang bagaimana melindungi diri sendiri dan orang lain dari potensi kekerasan seksual, serta bagaimana melaporkan kejadian yang mencurigakan dengan cara yang tepat dan aman. Pelatihan-pelatihan PSEA berikutnya dimotori oleh peer tutor yang telah dilatih sebelumnya.

 

Selain fokus pada pencegahan, Undana lewat Health Promoting University (HPU) juga menyelenggarakan pelatihan Psychological First Aid (PFA) untuk mahasiswa. PFA adalah pendekatan awal untuk memberikan dukungan emosional kepada individu yang mengalami krisis, termasuk penyintas kekerasan seksual. Mahasiswa yang mengikuti pelatihan ini dilatih untuk memberikan pertolongan pertama psikologis kepada penyintas kekerasan seksual, membantu mereka merasa aman, didengarkan, dan didukung secara emosional. Pelatihan ini sangat penting karena sering kali penyintas membutuhkan dukungan segera setelah kejadian, dan dengan adanya mahasiswa yang terlatih dalam PFA, mereka bisa mendapatkan bantuan yang mereka perlukan sebelum mendapatkan layanan profesional lebih lanjut. Mahasiswa yang dilatih dalam PFA juga diajarkan untuk mengenali tanda-tanda trauma dan cara merespons dengan empati tanpa memperburuk kondisi mental penyintas.

Workshop Mekanisme Pelaporan Kekerasan Seksual juga menjadi salah satu komponen penting dalam peningkatan kapasitas mahasiswa. Workshop ini mengajarkan mahasiswa tentang prosedur pelaporan kekerasan seksual di kampus, baik secara internal ke Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) maupun ke pihak eksternal seperti kepolisian. Mahasiswa diajarkan tentang hak-hak mereka sebagai penyintas atau saksi, serta langkah-langkah yang harus diambil jika mereka ingin melaporkan suatu kejadian kekerasan seksual. Workshop ini memberikan kejelasan mengenai prosedur pelaporan, termasuk bagaimana menjaga kerahasiaan dan keamanan bagi penyintas, sehingga proses pelaporan bisa berjalan dengan lebih lancar dan tanpa menambah beban psikologis bagi penyintas.

 


Workshop Mekanisme Pelaporan Kekerasan Seksual (kanan: Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Polda Nusa Tenggara Timur, IPTU Fridinari D. Kameo, S.H)

 

Melalui rangkaian pelatihan ini, mahasiswa Undana tidak hanya dibekali dengan pengetahuan dan keterampilan praktis, tetapi juga diberdayakan untuk menjadi agen perubahan di kampus. Mereka didorong untuk berperan aktif dalam menciptakan lingkungan yang lebih aman dan mendukung bagi semua civitas akademika. Peningkatan kapasitas ini memastikan bahwa mahasiswa memiliki pemahaman yang menyeluruh tentang pentingnya pencegahan kekerasan seksual serta bagaimana memberikan dukungan yang efektif bagi penyintas. Program-program pelatihan ini juga menekankan pentingnya kolaborasi antara mahasiswa, dosen, dan staf kampus dalam mewujudkan kampus yang bebas dari kekerasan seksual.

 

  1. Penelitian kolaboratif dosen dan mahasiswa

Program Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Universitas Nusa Cendana (Undana) mengintegrasikan kegiatan penelitian, baik dari kalangan dosen maupun mahasiswa, sebagai bagian penting dari upaya pencegahan kekerasan seksual. Penelitian ini bertujuan untuk memperkuat dasar ilmiah dari program-program PPKS, sekaligus memberikan wawasan baru yang relevan bagi pengembangan program intervensi di masa depan. Salah satu aspek penting dari penelitian ini adalah fokus pada metode Peer Assisted Learning (PAL) dalam pelatihan Protection of Sexual Exploitation and Abuse (PSEA), di mana tutor sebaya dilibatkan dalam proses pembelajaran untuk mempermudah penyampaian materi pencegahan kekerasan seksual.

Beberapa penelitian skripsi mahasiswa berfokus pada dampak pelatihan PSEA yang menggunakan metode PAL terhadap berbagai aspek perilaku civitas akademika. Penelitian pertama, misalnya, berusaha mengevaluasi pengaruh PAL terhadap perubahan behavioral intention atau niat perilaku mahasiswa dan civitas akademika dalam menerapkan PSEA (Gandy, 2024). Dengan mengukur perubahan niat perilaku, penelitian ini memberikan gambaran apakah pelatihan ini mampu mendorong civitas akademika untuk lebih berkomitmen dalam mencegah dan melaporkan kekerasan seksual. Hasil penelitian ini sangat penting karena niat perilaku merupakan salah satu indikator utama yang dapat memprediksi tindakan di masa depan.

 

Penelitian lainnya mengeksplorasi pengaruh metode PAL terhadap perceived behavior control, yaitu keyakinan individu tentang kemampuan mereka dalam mengambil tindakan pencegahan kekerasan seksual (Akhirussanah, 2024). Keyakinan ini penting karena berhubungan langsung dengan bagaimana seseorang merespons situasi yang berkaitan dengan kekerasan seksual, termasuk melaporkan kejadian yang mencurigakan atau mendukung penyintas. Dalam konteks ini, pelatihan PSEA yang menggunakan metode PAL diharapkan dapat meningkatkan keyakinan diri mahasiswa dan civitas akademika dalam menghadapi dan mencegah kekerasan seksual, serta memperkuat kemampuan mereka untuk bertindak sesuai dengan nilai-nilai PSEA.

Selain itu, penelitian juga dilakukan untuk mengukur pengaruh metode PAL terhadap norma subjektif dan sikap civitas akademika terkait pencegahan kekerasan seksual. Norma subjektif mencakup persepsi individu tentang apa yang diharapkan oleh lingkungan sosial mereka, sementara sikap mencerminkan pandangan dan perasaan seseorang terhadap suatu tindakan. Penelitian ini bertujuan untuk memahami apakah pelatihan PSEA melalui PAL dapat mempengaruhi perubahan norma sosial dan sikap di lingkungan kampus, sehingga tindakan pencegahan kekerasan seksual menjadi lebih diterima dan didorong oleh civitas akademika. Dengan menciptakan norma sosial yang mendukung, civitas akademika akan lebih termotivasi untuk terlibat aktif dalam upaya pencegahan.

Selain penelitian skripsi, dosen di Undana juga terlibat dalam pengembangan instrumen untuk mengukur efektivitas program PPKS. Salah satunya adalah pengembangan skala pencegahan kekerasan seksual di perguruan tinggi, yang dirancang untuk mengukur persepsi, sikap, serta tingkat kesadaran civitas akademika terhadap isu kekerasan seksual dan upaya pencegahannya (Wijaya, 2024). Skala ini akan diuji validitas dan reliabilitasnya untuk memastikan bahwa alat ukur ini dapat digunakan secara efektif dalam menilai dampak program PPKS. Setelah skala ini terbukti valid dan reliabel, hasilnya diharapkan dapat menjadi standar evaluasi di berbagai perguruan tinggi, sehingga efektivitas program PPKS dapat terus dipantau dan ditingkatkan.

Penelitian yang dilakukan oleh Sogen, Masu, & Resopijani (2024) berjudul “Penegakan Hukum Terhadap Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Kampus Undana Kupang” berfokus pada implementasi hukum terkait pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di Universitas Nusa Cendana (Undana). Penelitian ini menggunakan pendekatan normatif yuridis dengan menganalisis Peraturan Rektor Undana No. 8 Tahun 2022, yang menjadi dasar pembentukan Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS). Hasil penelitian menunjukkan bahwa penegakan hukum terkait kekerasan seksual di Undana sudah berjalan sesuai dengan peraturan tersebut, yang mengatur pembentukan Satgas PPKS untuk menangani pencegahan, pelaporan, dan pemulihan kasus kekerasan seksual. Satgas ini menjalankan perannya secara efektif dalam menangani laporan kekerasan seksual dan memberikan pendampingan kepada penyintas.

Prosedur penanganan kekerasan seksual di Undana juga telah diimplementasikan dengan baik oleh Satgas PPKS. Penelitian ini merekomendasikan agar Peraturan Rektor No. 8 Tahun 2022 dimasukkan dalam kurikulum mata kuliah umum, serta diadakannya buku panduan tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di kampus. Langkah ini diharapkan dapat meningkatkan pemahaman seluruh civitas akademika tentang pentingnya upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan kampus (Sogen, Masu, & Resopijani, 2024).

 

  1. Ajang Bakat dan Minat Mahasiswa

Program Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Universitas Nusa Cendana memanfaatkan minat dan bakat mahasiswa untuk mengkampanyekan pentingnya kesadaran tentang kekerasan seksual di lingkungan kampus. Salah satu inisiatif yang diadakan adalah Lomba Konten Kreatif yang digagas oleh Satgas PPKS bekerja sama dengan Dharma Wanita Persatuan (DWP) Undana. Lomba ini bertujuan untuk mendorong mahasiswa menghasilkan konten yang menyuarakan pencegahan kekerasan seksual melalui media kreatif seperti video, infografis, dan poster.

 

 

Selain itu, terdapat program Pemilihan Duta Anti Kekerasan Seksual, yang dipelopori oleh Program Studi Sosiologi bekerja sama dengan Satgas PPKS dan Program Studi Psikologi. Duta yang terpilih akan menjadi representasi mahasiswa dalam mengkampanyekan budaya anti-kekerasan di kampus serta terlibat dalam berbagai kegiatan edukasi dan advokasi. Inisiatif ini diharapkan mampu menciptakan agen-agen perubahan yang akan terus mempromosikan pentingnya menjaga lingkungan kampus yang aman dan inklusif bagi seluruh civitas akademika.

 

 

Kolaborasi antara berbagai program studi dan Satgas PPKS di Undana memperlihatkan upaya holistik dalam mencegah dan menangani kekerasan seksual, sekaligus meningkatkan kesadaran serta kepedulian mahasiswa terhadap isu tersebut.

 

Dampak

Program Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Universitas Nusa Cendana telah memberikan dampak positif yang signifikan dalam menciptakan lingkungan kampus yang lebih aman dan responsif terhadap kekerasan seksual. Salah satu dampak utamanya adalah meningkatkan kesadaran mahasiswa, dosen, dan tenaga kependidikan mengenai pentingnya pencegahan kekerasan seksual melalui pelatihan dan kampanye yang komprehensif.

Dampak pendampingan sebaya bagi penyintas kekerasan seksual sangat signifikan. Salah satu pendamping sebaya, Fitri A. Hagi Wila, menceritakan pengalamannya kala mendampingi seorang penyintas. Menurutnya, penyintas merasa lebih mudah terbuka dan berbagi cerita ketika ada pendamping sebaya di samping mereka. Fitri menjelaskan bahwa kedekatan yang terbangun antara pendamping dan penyintas menciptakan suasana yang aman dan nyaman. “Saat saya ada mendengarkan, dia lebih tenang dan bisa bercerita,” ungkap Fitri pada presentasinya di kegiatan Peningtas Satgas PPKS PTN Region IV di Makassar, 22-25 Agustus 2023. Pendampingan sebaya nyata memberikan ruang bagi penyintas untuk berbicara tentang pengalaman traumatis mereka dengan seseorang yang dapat memahami situasi mereka secara emosional.

Program seperti Peer Assisted Learning (PAL) telah terbukti efektif dalam meningkatkan pemahaman dan kesadaran civitas akademika mengenai Protection of Sexual Exploitation and Abuse (PSEA). Penelitian kami di Undana menunjukkan bahwa metode PAL mampu meningkatkan behavioral intention (niat untuk bertindak), perceived behavior control (persepsi kontrol perilaku), serta sikap dan norma subjektif civitas akademika terhadap PSEA. Pelatihan ini memberikan dampak yang signifikan pada peserta, terutama kelompok tutor, yang menunjukkan perubahan niat dan kemampuan dalam mencegah serta menangani kekerasan seksual.

Salah satu penelitian yang dilakukan oleh Gandy (2024) mengukur perubahan behavioral intention atau niat perilaku sebelum dan sesudah pelatihan pada kelompok tutor dan tutee. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan signifikan dalam behavioral intention pada kelompok tutor antara pengukuran pretest dan posttest 1 dengan nilai p-value sebesar 0,032, namun tidak ditemukan perbedaan signifikan pada kelompok tutee (p = 0,133). Perbedaan ini menunjukkan bahwa pelatihan memiliki dampak lebih besar pada tutor yang menjalankan peran pengajar dibandingkan pada tutee yang hanya menerima informasi .

Selain itu, penelitian Akhirussanah (2024) menunjukkan bahwa pelatihan PSEA menggunakan metode PAL meningkatkan Perceived Behavior Control (PBC), yaitu persepsi seseorang mengenai kemampuannya untuk melakukan tindakan yang diperlukan dalam pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kelompok tutor, p-value sebesar 0,018 dengan effect size (Kendall’s W) sebesar 0,150 (weak agreement), sedangkan pada kelompok tutee p-value < 0,001 dengan effect size (Cohen’s d) sebesar 0,933, menunjukkan dampak besar pada tutee. Temuan ini menggarisbawahi pentingnya metode PAL dalam meningkatkan persepsi kontrol perilaku terkait PSEA di kalangan civitas akademika .

Penelitian lain oleh Kabosu (2024) mengukur dampak PAL terhadap sikap dan norma subjektif civitas akademika terkait PSEA. Hasil uji statistik menunjukkan adanya peningkatan yang signifikan pada sikap dan norma subjektif, baik pada kelompok tutor maupun tutee (p < 0,01). Peningkatan ini menegaskan bahwa PAL adalah metode yang efektif dalam mengubah persepsi dan meningkatkan pemahaman tentang PSEA di Universitas Nusa Cendana .

Peserta pelatihan Psychological First Aid (PFA) juga memberikan testimoni positif mengenai manfaat program ini. Peserta belajar menjadi pendengar yang baik, mengendalikan emosi, dan merespons krisis secara tenang melalui latihan pernapasan selama tiga menit. Mereka juga memahami dasar-dasar kesehatan mental dan perilaku prososial, serta bagaimana menjadi fasilitator yang efektif dalam menangani trauma. Selama pelatihan, peserta melakukan simulasi dan bermain peran, yang membantu mereka menerapkan keterampilan yang telah dipelajari dalam kehidupan sehari-hari. Banyak peserta merasa bahwa pelatihan ini memberikan manfaat besar, tidak hanya untuk mendukung orang lain tetapi juga untuk pengembangan diri mereka sendiri.

Selain dampak pada pemahaman dan sikap, program PPKS juga memberikan ruang bagi mahasiswa untuk terlibat secara aktif melalui kegiatan kreatif seperti Lomba Konten Kreatif dan Pemilihan Duta Anti Kekerasan Seksual. Kegiatan ini tidak hanya meningkatkan kesadaran, tetapi juga mendorong mahasiswa untuk menjadi agen perubahan di lingkungan kampus. Pelatihan Psychological First Aid (PFA), yang merupakan bagian dari program PPKS, juga berdampak positif pada kemampuan mahasiswa untuk memberikan dukungan psikologis awal kepada penyintas kekerasan seksual. Peserta belajar cara merespons krisis secara efektif dan membantu penyintas tanpa menambah trauma.

Secara keseluruhan, program PPKS di Undana telah berhasil menciptakan perubahan positif dalam perilaku, sikap, dan kesadaran civitas akademika terhadap pencegahan dan penanganan kekerasan seksual, sehingga mendukung terciptanya lingkungan kampus yang lebih aman dan inklusif.

 

Tantangan dan Solusi

Pelaksanaan Program Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Universitas Nusa Cendana tidak lepas dari berbagai tantangan yang signifikan. Salah satu tantangan utama adalah keterbatasan sumber daya materi. Untuk menjalankan program-program seperti pelatihan, kampanye, dan pendampingan bagi penyintas, dibutuhkan pendanaan yang cukup besar. Program PPKS memerlukan biaya untuk pengadaan materi edukasi, penyelenggaraan kegiatan kampanye, pelatihan pencegahan kekerasan seksual, serta dukungan psikologis bagi penyintas. Namun, ketersediaan dana seringkali menjadi hambatan karena anggaran yang tersedia masih terbatas.

Keterbatasan sumber daya manusia juga menjadi masalah serius. Meskipun Satgas PPKS di Universitas Nusa Cendana telah dibentuk dan berjalan aktif, jumlah personel yang memiliki pelatihan khusus terkait pencegahan dan penanganan kekerasan seksual masih minim. Hal ini membuat tugas anggota Satgas menjadi sangat berat. Satgas yang terbatas jumlahnya harus mengelola berbagai aspek, mulai dari edukasi, pencegahan, pelaporan, hingga pemulihan bagi penyintas, yang membutuhkan keterampilan khusus dan komitmen waktu yang besar.

Selain itu, kesadaran dan keterlibatan aktif dari seluruh elemen civitas akademika masih menjadi tantangan. Tidak semua dosen, mahasiswa, dan tenaga kependidikan memahami urgensi peran mereka dalam pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan kampus. Terkadang, masalah ini dianggap hanya menjadi tanggung jawab pihak tertentu seperti Satgas atau dosen yang terlibat dalam program PPKS. Partisipasi aktif dari berbagai pihak sangat diperlukan agar program ini berhasil, namun minimnya kesadaran menghambat keberhasilan program secara menyeluruh.

Untuk mengatasi tantangan ini, solusi yang diupayakan adalah memperluas kolaborasi dengan berbagai pihak, baik dari dalam maupun luar kampus. Di tingkat internasional, Universitas Nusa Cendana telah membangun kemitraan dengan Mennonite Central Committee (MCC), sebuah organisasi kerap yang mendukung berbagai program PPKS di kampus melalui Health Promoting University (HPU) dan LP2M. Melalui dukungan MCC, program-program pencegahan kekerasan seksual dapat memperoleh tambahan pendanaan dan materi pelatihan yang sangat dibutuhkan untuk memperluas jangkauan dan dampaknya. Selain itu, kerjasama dengan organisasi lokal seperti Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) juga sangat penting. PKBI memiliki pengalaman dalam isu-isu kesehatan reproduksi dan kekerasan berbasis gender, sehingga dapat membantu memperkuat pelatihan dan kampanye yang diadakan di kampus.

Gambar 12. Rektor Undana, Prof. Dr. drh. Maxs U. E. Sanam dan Ketua PKBI NTT, Prof.Dr.I Gusti Bagus Arjana, MS menandatangani nota kesepahaman

 

Kolaborasi di dalam kampus juga harus diperkuat dengan melibatkan berbagai unit yang ada, seperti Laskar Sehat, Health Promoting University, Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LP2M), Dharma Wanita Persatuan. Unit-unit ini memiliki jaringan dan sumber daya yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung program PPKS, terutama dalam menggerakkan kampanye dan pelatihan secara lebih luas. Program studi dan fakultas juga dapat dilibatkan dalam mengintegrasikan isu pencegahan kekerasan seksual ke dalam kurikulum dan PKKMB, sehingga mahasiswa dapat belajar tentang pentingnya perlindungan terhadap kekerasan seksual sejak dini. Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dan organisasi kemahasiswaan juga bisa menjadi mitra strategis dalam menggerakkan kampanye ini. Mahasiswa dapat memainkan peran penting dalam mengedukasi sesama mahasiswa melalui kegiatan seperti diskusi, seminar, dan kampanye kreatif.

  

Gambar 13. Sinergi bersama Health Promoting University (kanan: pelatihan Laskar Sehat oleh ketua HPU Dr. dr. Nicholas Edwin Handoyo, M.Med.Ed)

 

Selain itu, dukungan dari layanan hukum dan kepolisian sangat dibutuhkan untuk memastikan bahwa penyintas dapat memperoleh keadilan tanpa harus terus-menerus menceritakan kembali pengalaman traumatis mereka. Laporan dari psikolog Satgas PPKS dan pendamping sebaya telah kami gunakan sebagai dokumen pendukung dalam proses hukum, sehingga meringankan beban psikologis penyintas.

Dengan kolaborasi yang kuat dari berbagai pihak, tantangan-tantangan dalam pelaksanaan program PPKS dapat diatasi. Program ini diharapkan dapat berjalan dengan lebih efektif dan berkelanjutan, serta memberikan dampak positif bagi seluruh civitas akademika Universitas Nusa Cendana.

 

Penutup

Kesimpulan

Program Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Universitas Nusa Cendana merupakan inisiatif penting dalam menciptakan lingkungan kampus yang aman dari kekerasan seksual. Melalui berbagai program seperti pelatihan, pendampingan sebaya, penelitian, dan kampanye, Universitas Nusa Cendana berusaha meningkatkan kesadaran serta memperkuat peran mahasiswa, dosen, dan tenaga kependidikan dalam pencegahan kekerasan seksual. Namun, pelaksanaannya menghadapi tantangan besar, termasuk keterbatasan sumber daya materi dan manusia, serta kesadaran untuk berpartisipasi aktif.

Untuk mengatasi tantangan ini, kolaborasi dengan berbagai pihak menjadi solusi utama. Dukungan dari organisasi internasional seperti Mennonite Central Committee (MCC), serta lembaga lokal seperti PKBI, sangat penting dalam menyediakan sumber daya tambahan dan memperluas jangkauan program. Di dalam kampus, kerjasama dengan unit-unit seperti Laskar Sehat, Health Promoting University, LP2M, serta Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dapat memperkuat pelaksanaan program dan melibatkan lebih banyak elemen civitas akademika. Selain itu, kerjasama dengan pihak hukum dan kepolisian juga sangat diperlukan untuk membantu penyintas kekerasan seksual melalui proses hukum yang lebih manusiawi.

Secara keseluruhan, program PPKS di Universitas Nusa Cendana telah menunjukkan dampak positif, terutama melalui peningkatan kesadaran dan perubahan perilaku civitas akademika terhadap isu kekerasan seksual. Pelatihan-pelatihan menggunakan metode Peer Assisted Learning (PAL) telah terbukti efektif dalam meningkatkan niat berperilaku positif, perceived behavior control, serta norma subjektif terkait pencegahan kekerasan seksual. Dengan dukungan yang berkelanjutan dan partisipasi aktif dari semua pihak, program ini diharapkan dapat terus berkembang dan memberikan perlindungan yang lebih baik bagi seluruh anggota kampus.

 

Rekomendasi

Pengembangan lebih lanjut program Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) sebaiknya menitikberatkan pada penguatan peran mahasiswa dan pendampingan sebaya. Sebagai elemen terbesar dalam komunitas kampus, mahasiswa memiliki potensi besar untuk menjadi agen perubahan dalam menciptakan lingkungan yang aman dan bebas dari kekerasan seksual. Berikut beberapa rekomendasi terkait peran penting ini:

  1. Penguatan Program Pendampingan Sebaya

Pendampingan sebaya harus diperluas dan diperkuat dengan melibatkan lebih banyak mahasiswa yang telah mendapatkan pelatihan khusus terkait PPKS. Melalui pendampingan ini, mahasiswa dapat mendukung sesama penyintas kekerasan seksual secara lebih langsung dan personal, membantu mereka mendapatkan dukungan psikologis dan administratif, serta memberikan informasi tentang langkah-langkah yang dapat diambil. Perlu adanya program pelatihan lanjutan bagi pendamping sebaya agar mereka mampu menangani kasus-kasus lebih kompleks, termasuk pendampingan dalam proses hukum.

  1. Peningkatan Kapasitas Mahasiswa dalam PPKS

Mahasiswa perlu diberdayakan melalui program pelatihan intensif, seperti Training of Trainers (ToT) untuk Prevention of Sexual Exploitation and Abuse (PSEA) dan Psychological First Aid (PFA). Program-program ini harus diperluas ke fakultas dan jurusan agar lebih banyak mahasiswa memiliki keterampilan untuk mencegah, menangani, dan mendukung penyintas kekerasan seksual. Pelatihan ini tidak hanya bermanfaat bagi penyintas, tetapi juga akan membekali mahasiswa, termasuk tutor dan pendamping sebaya, dengan keterampilan interpersonal yang penting untuk kehidupan sehari-hari, seperti mendengar aktif dan empati.

  1. Inisiatif Mahasiswa dalam Kampanye PPKS

Mahasiswa perlu dilibatkan secara lebih aktif dalam mengorganisir dan menjalankan kampanye pencegahan kekerasan seksual di kampus, termasuk melalui kegiatan kreatif seperti lomba konten edukasi dan pemilihan duta anti kekerasan seksual. Kegiatan ini dapat menarik perhatian lebih banyak mahasiswa dan mendorong mereka untuk berpartisipasi aktif dalam upaya pencegahan.

  1. Integrasi Program PPKS ke dalam Kegiatan Akademik Mahasiswa

Isu kekerasan seksual perlu diintegrasikan lebih lanjut ke dalam PKKMB, kurikulum, pengabdian, dan penelitian oleh mahasiswa, seperti tugas akhir dan skripsi yang membahas dampak program PPKS. Hal ini akan memperluas pengetahuan akademik mengenai kekerasan seksual di perguruan tinggi dan membantu mengembangkan pendekatan aksi yang lebih efektif.

  1. Kolaborasi demi Mahasiswa

Kolaborasi dengan berbagai pemangku kepentingan sangat penting untuk mendukung keberhasilan program pencegahan dan penanganan kekerasan seksual (PPKS) di kampus. Universitas, melalui fakultas dan lembaga mahasiswa, dapat mengintegrasikan pelatihan PPKS dalam kurikulum dan aktivitas kampus. Kerja sama dengan LSM dan lembaga internasional dapat memberikan dukungan dalam bentuk pendanaan, sumber daya, dan pelatihan. Dukungan dari aparat hukum dan kepolisian juga diperlukan untuk membantu penyintas dalam proses hukum. Dengan sinergi ini, peran pendampingan sebaya dan mahasiswa dapat diperkuat, menciptakan lingkungan kampus yang lebih aman dan responsif terhadap isu kekerasan seksual.

 

Ajakan Aksi

Kami mengajak semua pembaca untuk bergabung dalam upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan kampus. Isu ini memerlukan perhatian dan tindakan kolektif dari kita semua: mahasiswa, dosen, tenaga kependidikan, serta masyarakat luas. Kolaborasi kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih aman dan mendukung bagi setiap individu.

Mari kita bersama-sama berkontribusi dengan berbagi pengetahuan, pengalaman, dan sumber daya untuk meningkatkan kesadaran tentang kekerasan seksual. Anda dapat berperan aktif dengan menjadi pendamping sebaya, menyelenggarakan kampanye edukasi, atau terlibat dalam program-program pelatihan yang dirancang untuk membekali kita dengan keterampilan yang diperlukan dalam menangani kasus-kasus ini.

Setiap suara dan tindakan kita memiliki dampak. Bersatu, kita dapat mempengaruhi perubahan positif dan memastikan bahwa lingkungan akademik kita bebas dari kekerasan. Mari kita jadikan kampus sebagai tempat yang aman dan mendukung, di mana setiap orang merasa dihargai dan terlindungi. Bersama, kita bisa membuat perbedaan. Mari, bergabung dalam upaya PPKS dan jadilah bagian dari perubahan ini!

 

Referensi

 

Isni, K. (2021). PEER COUNSELING TRAINING AS A METHOD OF SEXUAL HEALTH PROMOTION IN ADOLESCENTS. The Indonesian Journal of Public Health, 16(2), 242–252. https://doi.org/10.20473/ijph.v16i2.2021.242-252

Akhirussanah, T. T. (2024). Pengaruh Metode Peer Assisted Learning Dalam Pelatihan Protection Of Sexual, Exploitation And Abuse Terhadap Perubahan Perceived Behavior Control Civitas Akademika Undana. Skripsi. Fakultas Kedokteran dan Kedokteran Hewan Universitas Nusa Cendana. Diakses dari http://skripsi.undana.ac.id/index.php?p=show_detail&id=21587&keywords= tanggal 20 September 2024

Gandy, J. E. (2024).Pengaruh Metode Peer Assisted Learning Dalam Pelatihan Protection Of Sexual, Exploitation, And Abuse (PSEA) Terhadap Perubahan Behavioral Intention Untuk Menerapkan PSEA. Skripsi. Fakultas Kedokteran dan Kedokteran Hewan Universitas Nusa Cendana. Diakses dari http://skripsi.undana.ac.id/index.php?p=show_detail&id=21561&keywords= tanggal 20 September 2024

Pradipta, N. M. (2024). Kontrol Sosial Mahasiswa dalam Fenomena Kekerasan Seksual di Lingkungan Kampus. https://digilib.uns.ac.id/dokumen/detail/114151/

Kabosu, A. A. (2024). Pengaruh Metode Peer Assisted Learning Dalam Pelatihan Protection Of Sexual, Exploitation And Abuse (PSEA) Terhadap Perubahan Aspek Attitude Toward The Behavior & Subjective Norm Untuk Menerapkan PSEA. Skripsi. Fakultas Kedokteran dan Kedokteran Hewan Universitas Nusa Cendana. Diakses dari http://skripsi.undana.ac.id/index.php?p=show_detail&id=21581&keywords= tanggal 20 September 2024

Kemdikbudristek. (2021). Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Jakarta: Kemdikbudristek. https://peraturan.bpk.go.id/Download/182081/Permendikbudristek%20Nomor%2030%20Tahun%202021.pdf

Komnas Perempuan. (2024). Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2023. Jakarta: Komnas Perempuan.

Mas’udah, S. (2022). Makna Kekerasan Seksual dan Stigma Masyarakat Terhadap Korban Kekerasan Seksual. Society, 10 (1), 1, 12, 2022. https://doi.org/10.33019/society.v10i1.384

Hamzah, N. A. (2022). Mobilisasi Sumber Daya Gerakan Feminis Dalam Melawan Kekerasan Seksual Melalui Media Sosial Instagram (Studi Kasus Jaringan Muda Setara). Skripsi, Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/handle/123456789/71527

Kusuma, Y. T. (2023). Perlindungan Hukum Bagi Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual Di Perguruan Tinggi. Jurnal Legisia, 15(1), 1-13. https://doi.org/10.58350/leg.v15i1.245

Sogen, E., Masu, R., & Resopijani, A. (2024). Penegakan Hukum Terhadap Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Kampus Undana Kupang. Artemis Law Journal, 1(2), 625-641.

Elindawati, R. (2021). Perspektif feminis dalam kasus perempuan sebagai korban kekerasan seksual di Perguruan Tinggi. AL-WARDAH: Jurnal Kajian Perempuan, Gender dan Agama, 15(2), 181-193.

Undana Podcast. (2024). Regulasi dan Hak Hukum Korban Kekerasan Seksual dan Saksi. https://www.youtube.com/watch?v=1JvoljzEuOE

Undana Podcast. (2024). Cara Menghadapi Budaya Bercanda dan Intimidasi. https://www.youtube.com/watch?v=Y5RreNs6JyA

Marhan , C. ., Yunita, A. ., Qalbi, L. S. ., Suarni , W. ., & Pambudhi, Y. A. . (2022). Strategi Pencegahan Dan Penanganan Pelecehan Dan Kekerasan Seksual Melalui Psikoedukasi Dukungan Sebaya. Amal Ilmiah: Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat, 4(1), 93–100. https://doi.org/10.36709/amalilmiah.v4i1.78

 

Penulis: Pasifikus Christa Wijaya – Satgas PPKS Universitas Nusa Cendana

 

wpChatIcon
wpChatIcon